Jumat, 18 Desember 2009

Bai As-Salam

BAI’ SALAM;

TELAAH KOMPARATIF TERHADAP TRANSAKSI SALAM
DAN APLIKASINYA DALAM KONTEKS KEKINIAN
oleh : Suwardi

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Makalah yang sekarang ada di tangan pembaca, awalnya dilatarbelakangi oleh tugas yang diamanatkan kepada penulis. Seterusnya, pembahasan tentang transaksi salam ini menjadi urgen disebabkan oleh beberapa hal. Pertama; salam atau pesanan merupakan salah satu bentuk jual beli yang umum digunakan oleh masyarakat kita, dan sebagian besar pelaku transaksi tidak mengetahui syarat dan rukunnya sesuai konsep yang diajarkan Islam. Kedua; praktek salam dalam muamalah umat dewasa ini telah banyak keluar dari konteks salam sebagaimana yang diajarkan para ulama terdahulu. Kemajuan teknologi misalnya, menjadi salah satu penyebab utama hal ini. Syarat pelaku transaksi yang mesti berhadapan dalam satu majelis, dengan sendirinya sering terabaikan, sebab banyak sarana yang memungkinkan manusia berkomunikasi jarak jauh, dan seterusnya. Ketiga; perbankan Islam yang sedang marak digalakkan mempraktekkan salam dalam bentuk berbeda. Praktek salam paralel dan praktek jual beli lain yang terlahir dari salam belum sepenuhnya disepakati oleh para ulama. Perlu adanya pengenalan terhadap model transaksi ini, berikut aplikasinya dalam perbankan Islam.
Judul yang kami pilih adalah Bai’ Salam; Telaah Komparatif Terhadap Transaksi Salam dan Aplikasinya dalam Konteks Kekinian. Sesuai judulnya, makalah ini akan mengantarkan pembaca mempelajari praktek salam dengan sedapat mungkin mengetengahkan pendapat berbagai madzhab fiqh dalam persoalan yang belum disepakati, kemudian mempersilahkan pembaca membandingkan antara satu dan lainnya. Metode ini sengaja kami pilih karena metode tersebut menurut kami lebih cocok untuk mengenalkan salam pada masyarakat akademis; mahasiswa Al Azhar.
Berangkat dari keinginan untuk ikut memberikan andil dalam menyelesaikan permasalahan umat, memberikan pencerahan juga sebagai pengembangan wawasan keislaman, kami berusaha semaksimal mungkin menghadirkan makalah sederhana ini, sebagai pengantar kajian tentang praktek salam.

Rumusan Persoalan
Praktek salam yang terjadi di kalangan masyarakat muslim secara umum tidak lagi memenuhi rukun dan syarat salam sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama. Umat Islam kebanyakan tidak mengetahui dan tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu aturan-aturan baku yang telah ditetapkan agama dalam urusan muamalah. Seterusnya, perkembangan zaman telah melahirkan persoalan baru dalam fiqh yang menuntut untuk segera disikapi. Banyak syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh ulama berdasarkan ijtihad mereka tidak lagi relevan dengan masyarakat modern. Sementara itu para ulama hingga kini berbeda pendapat dalam penetapan rukun dan syarat salam. Seperti apa transaksi salam dalam Islam sebenarnya dan sejauh mana perbedaan pendapat di kalangan ulama terhadap persoalan ini.

Maksud dan Tujuan
Setiap kita, harus mengacu pada Al Quran dan Al-Sunnah serta mempelajari pendapat ulama ketika berusaha memahami suatu perkara. Sebab hanya dengan mengacu pada hal-hal tadi kita tidak terjebak pada hal-hal yang batil dan menyesatkan. Sebagai cendekiawan muslim sudah seharusnya kita mengkaji lebih jauh tentang setiap permasalahan umat dan berusaha memberikan solusi. Tujuannya tidak lain, demi menjaga kemurnian amal dan menambah wawasan keagamaan kita dalam bingkai takwa kepada Allah Swt.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa Itu Salam?
Untuk mengenal salam dan segala aspek yang berhubungan dengannya baik dari segi rukun, syarat, lengkap dengan perbedaan ulama dalam mendefinisikan dan menentukan rukun-syaratnya, berikut konteks salam dalam praktek modern, adalah dengan terlebih dahulu mengetahui apa itu salam.

1. Salam Dalam Sejarah
Transaksi salam telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Ketika Rasulullah tiba di Kota Madinah setelah Hijrah, beliau mendapati penduduk Madinah telah mengenal dan telah melakukan praktek salam ini. Salam yang menjadi pembahasan syariat dan termasuk dalam kategori muamalah, kemudian menjadi bagian dari hal-hal yang dibolehkan agama dengan terlebih dahulu menetapkan aturan-aturan baku yang mengatur dan menertibkannya.
Sekalipun pada praktek salam terdapat resiko negatif (gharar) karena ketiadaan barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi, tetapi Islam membolehkannya setelah melihat manfaat dan kebutuhan manusia yang besar terhadap hal ini. Para Ulama juga menyebut transaksi salam dengan ‘bai’ul mahawîj’ artinya, jual beli yang telah dihalalkan karena adanya ketergantungan dan saling membutuhkan. Pembeli membutuhkan barang yang diinginkannya dan penjual membutuhkan modal untuk membiayai usaha pengadaan barang atau untuk menafkahi keluarganya dan seterusnya. Hikmah inilah yang menjadikan praktek salam dikecualikan dari jual beli gharar yang dilarang.

2. Defenisi Salam:
Salam merupakan bentuk masdar dari kata aslama yang berarti mendahulukan modal. Secara etimologi salam juga diistilahkan dengan salaf (pinjaman tanpa bunga). Istilah salam digunakan oleh penduduk Hijaz, sedangkan kata salaf digunakan oleh penduduk Irak . Kata salam pada hakikatnya lebih khusus dibanding kata salaf, karena salaf digunakan dalam dua hal :
• Memberikan emas atau perak untuk membayar barang tertentu hingga batas waktu tertentu dengan menaikkan harganya dari harga yang ada. Bentuk yang dimaksud adalah salam
• Untuk qardh (pinjaman tanpa bunga).

Secara terminologi, salam berarti penjualan barang tertentu tetapi barang tersebut masih dalam tanggungan (ditangguhkan penyerahannya) dan modalnya (ra's al-mâl) dibayar pada saat transakasi. Atau dalam pengertian sederhana, salam adalah transaksi dimana modal dibayar di muka dan barang yang dibeli diterima belakangan, untuk satu jangka waktu yang tertentu .

B. Bagaimana Hukum Salam?
Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di kalangan para ulama tentang boleh tidaknya praktek salam ini dilakukan. Mayoritas ulama salaf maupun khalaf dari seluruh madzhab fiqh sepakat bahwa salam boleh dan disyariatkan oleh Allah Swt, baik dalam Al Quran maupun lewat penjabaran Nabi Muhammad Saw.
Satu-satunya dalil teks hadits yang digunakan oleh sebahagian ulama seperti Ibnul Musayyib dan lain-lain tentang pelarangan transaksi salam adalah hadits Rasulullah Saw. tentang pelarangan menjual sesuatu yang tidak kita miliki.
Nabi Muhammad Saw. bersabda dalam sebuah hadits beliau:
(لا تبع ما ليس عندك)
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada pada dirimu”.
Secara tekstual maupun secara maknawi, para ulama sepakat bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan penghalalan praktek salam, sebab larangan ini ditujukan pada praktek jual-beli sesuatu yang si penjualnya tidak memiliki dan tidak mampu mendatangkan barang yang dijualnya. Berbeda halnya pada persoalan salam. Si penjual pada praktek ini mampu mendatangkan dan mengadakan barang yang diminta pada waktu yang telah disepakati, sekalipun dia tidak memiliki barang tersebut pada saat aqad.

C. Dalil-dalil Seputar Kebolehan Praktek Salam
Diantara dalil-dalil yang menyebutkan kebolehan praktek salam sebagaimana yang disebutkan para ulama fiqh adalah sebagai berikut:

1. Dalil Al Quran:
}          {
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ibnu Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam dalam jaminan hingga waktu tertentu telah dihalalkan Allah dalam Al Quran.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.

2. Dalil Hadits:
Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Kota Madinah, Beliau mendapati penduduknya telah melakukan praktek salam; memesan barang untuk jangka satu sampai dua tahun. Rasulullah kemudian bersabda:

من أسلف في شيىء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم

3. Dalil Ijma’:
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa semua ulama’ sepakat bahwa salam hukumnya boleh dilakukan. Dalam Mausû’ah Al Um, Imam As Syafi’I Ra. berkata mengenai ijma’ ulama tentang kebolehan salam sebagai berikut:
“… Salaf/salam boleh sesuai sunnah Rasulullah Saw. dan atsar dan tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sebagaimana saya ketahui”.
D. Rukun dan Syarat Salam
1. Rukun
Rukun salam menurut Ulama Hanafiyah hanyalah lafadz aqad; ijab dan qabul. Mayoritas Ulama menambahkan dalam rukun: Al Aqidan (pelaku transaksi; terdiri dari penjual /Al Muslamu Ilaîh dan pembeli /Al Muslim), Al Muslamu fîh (barang dan tempat penyerahannya) dan Ra’sul mâl (modal atau harga pembayaran).

2. Syarat-syarat Rukun
Kalau kita mengklasifikasikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam transaksi salam sesuai rukun-rukunnya, kita akan menemukan bahwa setiap rukun yang ada harus memenuhi beberapa syarat tertentu, sebagai berikut:

1) Syarat Lafadz Aqad
Syarat yang harus dipenuhi dalam aqad salam dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama, syarat umum, mencakup syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap akad jual beli dan telah disepakati oleh para ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketersambungan aqad
b. Ijab dan qabul tidak digantung dengan syarat.
Contoh ijab yang digantung misalnya pembeli berkata; Bila Anakku sehat maka aku akan memesan darimu sebuah lemari es dan kau serahkan dua bulan lagi.
c. Kesesuaian antara lafadz qabul dan ijab.

Adapun syarat-syarat khusus pada lafadz aqad salam adalah sebagai berikut:
a. Ijab hanya boleh dengan menggunakan lafadz salam atau salaf menurut Ulama Syafi’iyah, dan tidak boleh menggunakan lafadz ba’I sebab terjebak pada jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’ Al ma’dûm). Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah boleh menggunakan lafadz salam, salaf atau jual beli biasa (بيع). Perbedaan ini kemudian akan melahirkan perbedaan hukum dalam menentukan boleh tidaknya barang diserahkan langsung saat aqad.
b. Tidak boleh terdapat syarat khiyâr.
Apabila barang telah didatangkan pada waktu yang telah disepakati maka tidak boleh ada khiyâr (memilih atau meminta ganti). Kecuali bila terdapat cacat dalam barang tersebut dan merusak sifat dan syarat yang telah disepakati.
c. Disebutkan tempat penyerahan barang bila tempat tersebut hanya dapat dijangkau dengan menggunakan biaya.
d. Disebutkan waktu penyerahan barang yang diketahui bersama. Menurut Malikiyah minimal 15 hari setelah akad terjadi.
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang wajibnya penyebutan waktu yang diketahui bersama, sebab teks Al Quran dan hadits dengan jelas menyebutkan hal ini. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh menyebutkan masa panen, awal musim gugur, hari kedatangan jama’ah haji, dsb. bila penjual dan pembeli berada pada kota yang sama. Sebab menurut Malikiyah, kata-kata tersebut termasuk dalam kategori waktu yang biasa digunakan dan dimaklumi. Mayoritas ulama tidak membenarkan pendapat ini. Mereka beralasan bahwa waktu-waktu tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti, dapat berubah-ubah, sehingga termasuk dalam kategori waktu yang tidak diketahui.
e. Menyebutkan sifat-sifat, jenis, bentuk, dan ukuran barang.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menyebut sifat barang yang tidak mungkin didatangkan penjual. Misalnya si penjual mengatakan “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang paling baik,” dst. tanpa menyebutkan sifat-sifat yang membedakannya dengan yang lainnya. Bila terjadi, maka pada saat itu akad cacat, karena penjual tidak akan sanggup mendatangkan barang yang paling baik sebab tidak ada standar yang jelas dan disepakati tentang baik dan buruk suatu benda. Dan apabila pembeli dalam akad hanya mengatakan: “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang baik atau baru,” apabila kemudian terjadi pertentangan setelah barang itu didatangkan, maka cukup memanggil seseorang untuk menilai. Apabila menurut penilaiannya barang tersebut baik atau baru, maka pembeli harus menerimanya.

2) Syarat Al ‘Aqidân
a. Keduanya secara syariat termasuk orang yang memiliki hak bertransaksi.
Al Qadhi Abi Suja’ menyebutkan dalam kitabnya Matnu Al Ghâyah wa At Taqhrîb, bahwa orang yang terhalang haknya untuk melakukan transaksi (Al-Hajr) ada enam golongan. Beliau berkata:
Orang yang terhalang haknya untuk bertransaksi ada enam golongan. (1) Anak kecil, (2) orang gila, (3) orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, (4) orang bangkrut yang terlilit hutang, (5) orang yang sakit parah tidak boleh menafkahkan lebih dari sepertiga hartanya dan (6) hamba sahaya yang tidak diizinkan berdagang oleh majikannya.
b. Mayoritas Ulama fiqh mensyaratkan pembeli harus beragama Islam bila yang diperjual belikan adalah budak muslim. Sebab bila pembeli adalah orang kafir maka budak itu akan berada di bawah penguasaan orang kafir dan ini bertentangan dengan ayat Al Quran:
}         {
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Kecuali budak tersebut adalah ayah atau anak dari pembeli.

Bila penjual adalah seorang yang buta, maka aqad cacat. Tetapi bila yang buta adalah pembeli, maka menurut Ulama Syafi’iyah transaksi tetap sah dengan syarat si pembeli mengetahui sifat-sifat benda yang dipesan; beratnya, jumlahnya, jenisnya dst. apakah benda itu pernah dilihatnya sebelum buta, atau diketahui karena pernah didengarnya atau dalam transaksi dia ditemani oleh orang lain (yang tidak buta) yang dipercayainya.

3) Syarat Barang dan Tempat Penyerahan
Secara umum, segala barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam jual beli biasa (بيع) diperbolehkan pula untuk diperjual belikan dalam bentuk salam. Berikut beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan barang dan tempat penyerahannya:
a. Harus dalam bentuk hutang dalam jaminan penjual.
b. Harus merupakan benda yang dapat diidentifikasi secara jelas; mempunyai sifat-sifat tertentu; jenis, sifat, ukuran, kadar, klasifikasi kualitas yang diketahui bersama dan membedakannya dengan barang lainnya.
c. Termasuk benda yang mungkin didatangkan ketika tiba masa penyerahannya.
d. Harus diserahkan bukan pada saat aqad.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa transaksi penyerahan barang tidak boleh bersamaan dengan saat aqad salam. Bila telah bersamaan, maka akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, bila barang sudah ada pada saat aqad maka praktek yang terjadi bukan lagi praktek salam tetapi telah berubah menjadi transaksi jual beli biasa, sebab yang membedakan salam dan jual beli hanyalah persoalan waktu penyerahan barang. Kemungkinan kedua, apabila barang belum ada, maka transaksi ini telah terjebak dalam transaksi haram; jual beli barang yang tidak ada (bai’ al ma’dûm).
Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa penyerahan barang boleh pada saat bersamaan dengan aqad bahkan lebih baik. Mereka menafsirkan kalimat ilâ ajalin musamma dalam Al Quran dan ilâ ajalin ma’lûm dalam hadits Nabi bukan sebagai syarat, tetapi bermakna apabila transaksi menyebutkan waktu maka waktu tersebut diketahui dan disepakati bersama. Adapun yang membedakannya dengan jual beli adalah pada lafadz transaksi.
e. Tempat penyerahan adalah yang telah disepakati sebelumnya.
Ketika tempat penyerahan barang berubah dari tempat yang telah disepakati tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu maka salah satu atau kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akad. Tetapi ketika keduanya tidak menyebutkan tempat maka akad tetap sah menurut mayoritas ulama. Apabila tempat penyerahan barang hanya bisa dicapai oleh salah satu pihak atau keduanya dengan mengeluarkan biaya, maka menurut Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah tempat itu harus disebutkan dalam aqad.

4) Syarat Modal/biaya (Ra’sul Mâl)
a. Harus diserahkan/dibayar pada saat aqad transaksi, demi menghindari terjadinya jual beli utang dengan utang (bai' ad-dain bi ad-dain ). Malikiyah membolehkan adanya jangka waktu paling lama tiga hari, sebab 3 hari masih dianggap tempo yang dekat dengan waktu transaksi
b. Serah terima di tempat aqad, sebelum pelaku transaksi berpisah apakah modal tunai atau hutang.
c. Jumlah modal yang diserahkan harus diketahui bersama.
Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan cukup dengan melihat modal/uang tersebut atau dengan isyarat. Hanafiyah mensyaratkan dihitung untuk memastikan jumlahnya. Hanafiyah juga menambahkan modal tersebut mesti diketahui jenisnya, diperiksa keaslian dan dilihat apakah boleh digunakan atau tidak.
Tidak mesti Ra’sul Mâl dalam bentuk uang, tetapi boleh dalam bentuk jasa. Misalnya pembeli berkata; Saya memesan darimu sebuah sepeda motor dalam jangka dua bulan dan sebagai pembayarannya, silahkan kau menempati rumahku selama enam bulan.

E. Transaksi Salam dalam Konteks Kekinian
1. Salam dan Aplikasinya Dalam Perbankan Islam
Sejalan dengan perkembangan zaman, perbankan semakin berkembang dan menawarkan berbagai macam pelayanan dan jasa. Demikian halnya dengan bank Syari’ah/Islam. Dalam prakteknya perbankan syari'ah mempunyai lima prinsip dasar dalam pembiayaan yaitu prinsip titipan atau simpanan, jual beli, sewa, bagi hasil, sewa, dan jasa.
Pelayanan salam sebenarnya bukanlah satu hal yang asing. Sistem ini biasanya diterapkan untuk pembiayaan berjangka pendek, terutama dalam bidang pertanian dan manufaktur . Melalui fasilitas ini, nasabah (misalnya petani) yang ingin melakukan produksi (penanaman) namun tidak memiliki modal yang cukup, bisa mengajukan pembiayaan untuk produksi kepada bank. Dalam hal ini, petani tersebut bertindak sebagai muslam ilaih. Bank akan memberikan pinjaman yang dalam prakteknya seakan-akan bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran dibayar di muka, sedangkan barangnya diterima secara utang. Di sini bank menempati posisi muslim. Dalam hal ini, praktek salam berlangsung.
Oleh karena bank tidak bertujuan untuk memiliki barang (hasil) pertanian yang telah dibeli, maka bank akan menjual kembali barang tersebut kepada petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga belinya. Jadi, praktek bunga tidak terjadi.
Selain itu bank juga bisa melayani dua nasabah dengan menggunakan sistem salam paralel. Salam paralel adalah bentuk mekanisme bank untuk memenuhi pembiayaan persediaan (inventory financing). Terdapat dua tahapan, pada tahap pertama, bank membeli dari supplier secara tunai barang yang dibutuhkan oleh nasabah . Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh, dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Secara sederhana skema salam paralel dapat dilihat dalam lampiran.

2. Salam dan Istishna'
Jual beli istishna' merupakan satu bentuk transaksi yang erat kaitannya dengan salam. Di sini penulis sengaja menyentuh tentang istishna' sebab wujud istishna' itu sendiri masih bersangkutan dengan salam, bahkan sebagian besar ulama fiqh klasik mendefinisikan istishna' sebagai bentuk salam yang termodifikasi..

a. Istishna’: Janji atau Transaksi?
Istishna' berarti meminta kepada pembuat barang untuk dibuatkan barang tertentu dengan ciri-ciri yang tertentu . Transaksi ini merupakan satu akad yang dikembangkan oleh mazhab Hanafiyah, namun mereka sendiri pada dasarnya berselisih pendapat tentang istishna'. Menurut Al-Marwazi dan Muhammad bin Salamah, istishna' tak lain hanyalah berupa janji penjual kepada pembeli. Akan tetapi pendapat yang kuat menurut mazhab mereka bahwa istishna' adalah satu akad yang independen. Adapun ulama non-Hanafiyah (Syafi'i, Maliki dan Hanabilah) berpendapat bahwa istishna' tak lain adalah bentuk dari salam berikut syarat-syaratnya yang berpatokan kepada salam. Perbedaan salam dan istishna' dapat dilihat dalam lampiran.

b. Hukum Istishna'
Dalam menyikapi akad ini, ulama klasik terbagi kepada dua pendapat. Para Ulama Fiqh Hanafiyah mayoritas membolehkan transaksi istishna' yang berasakan akad salam, mereka juga mensyaratkan syarat-syarat salam pada istishna'. Hanafiyah berpendapat bolehnya istishna' dengan dalil adanya kebutuhan manusia terhadapnya. Selain itu mereka juga berpatokan bahwa Rasulullah saw. pernah minta dibuatkan cincin .
Selain mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat salam pada istishna', mazhab Hanafiyah menambahkan tiga syarat khusus yaitu :
(a) Menjelaskan jenis barang, sifat dan kadarnya;
(b) Barangnya memiliki unsur produksi. Barang yang tidak ada unsur produksinya tidak dibolehkan;
(c) Tidak memaksakan adanya penundaan yang tertentu. Mereka beralasan bahwa jika waktunya tertentu maka yang terjadi bukanlah istishna' tapi salam. Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani tidak menjadikan hal yang ketiga ini sebagai syarat istishna'.
Sementara para Ulama Fiqh non-Hanafiyah berpendapat bahwa istishna' adalah bentuk lain dari salam. Mereka tidak membolehkannya karena istishna' merupakan satu bentuk jual beli barang yang tidak ada (bai' ma'dum). Tetapi menurut Prof. Dr. Ali Syadzily, Mazhab Malikiyah membolehkan jual beli yang menyerupai istishna' dikenal dengan jual beli ahli Madinah (bai' ahli Madinah) dengan unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Pembeli harus melakukan akad dengan yang mempunyai profesi tertentu contohnya tukang roti;
(b) Barang yang dibeli belum ada, akan tetapi barangnya bisa dipastikan akan ada setiap hari, karena profesinya menuntutnya untuk selalu menyediakan barang tersebut sehingga pembeli bisa mendapatkan barangnya sesuai jumlah yang disepakati;
(c) Akadnya ada dua cara yaitu dengan membayar barang dengan jumlah yang banyak, dan barangnya akan diambil secara berangsur setiap hari atau membelinya secara eceran setiap hari.

3. Aqad Salam dengan Fasilitas Teknologi
Perkembangan teknologi telah mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang lebih komplit dan serba cepat. Hampir tidak satupun sisi kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh teknologi.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, ketika keberadaan teknologi telah memungkinkan seseorang melakukan aktifitasnya dari jarak jauh. Dalam aqad salam misalnya, para ulama mensyaratkan pembeli dan penjual harus berada pada satu majlis. Tetapi kecanggihan teknologi memungkinkan manusia berkomunikasi, melakukan aqad transaksi dari dua tempat berbeda, misalnya dengan menggunakan fasilitas telepon atau internet.
DR. Ezzat Athiyah; Ketua Jurusan Hadits dan Ilmu Hadits Universitas Al Azhar Kairo mengatakan bahwa transaksi salam dengan menggunakan telepon atau fasilitas lainnya sah digunakan selama memungkinkan pelaku transaksi saling memahami maksud antara satu dan lainnya dan dapat dipastikan ketersambungan antara ijab dan qabul.

BAB III
PENUTUP

Islam datang dengan aturan-aturan baku yang mengatur persoalan hidup manusia. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam kitab suci Al Quran dan dijabarkan melalui lisan, gerak dan pengakuan Rasulullah Saw. Aqidah, syariat dan akhlaq merupakan tiga hal yang menjadi cakupan din ini. Aqidah mengatur persoalan-persoalan yang wajib diyakini dengan hati. Syariat mengatur ibadah dan muamalah sebagai aplikasi dari keyakinan dan akhlaq sebagai pelengkap dari keduanya. Aqidah Islam tetap dan tidak berubah sejak awal risalah Ilahiyah yang disampaikan para nabi.
}    •       {
Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".(Q.S. Al-Nahl: 36)
Adapun syariat terus berubah dan berkembang, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di mana nabi diutus sebagai rahmat Allah bagi hamba Nya. Fiqh yang menjadi bagian terbesar dari syariat juga terus berkembang seirama dengan berkembangnya zaman. Islam sebagai agama Allah hingga akhir zaman dituntut untuk mampu menjadi solusi. Teks-teks Al Quran dan Al-Sunnah sebagai referensi terbesar dalam Islam sangatlah terbatas. Realita ini bukanlah sebagai bentuk kekurangan dalam Islam, sebab Islam telah membangun pondasi hukum dasar dalam Al-Quran dan Al-Sunnah dan membuka kran bagi umatnya, mempersilakan menggunakan perangkat hukum lain seperti ijma’, qiyas, istihsân, mashlahah al mursalah, syar’u man qablanâ, syaddu dzarî’ah dsb., dengan tetap berpedoman pada pondasi-pondasi hukum yang sudah ada.
Dengan perangkat-perangkat inilah kita dapat memutuskan dan menetapkan hukum berbagai persoalan baru yang belum dibahas oleh para ulama terdahulu. Beragam permasalahan kontemporer muncul meramaikan khazanah fiqh Islam. Kita sebagai cendekiawan muslim dituntut pula untuk melanjutkan tugas para ulama terdahulu, menjaga dan meneruskan estafet hukum rabbani sebagi solusi bagi problematika umat manusia.

Kesimpulan
Ulama Fiqh telah sepakat bahwa jual beli salam adalah jual beli yang dibolehkan. Namun, sudah tentu semuanya haruslah mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh syari'at. Ulama salaf menetapkan banyak syarat yang harus dipenuhi. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut masih dapat disederhanakan sehingga lebih praktis, dengan tetap mengacu pada teks Al Quran dan Al-Sunnah. Bagaimanapun, sebagian besar syarat yang disampaikan para ulama adalah hasil dari sebuah ijtihad yang sangat dipengaruhi oleh zaman.
Kebutuhan manusia yang tidak terbatas memunculkan pula istilah bai' istishna' yang pada dasarnya berakar dari salam sendiri, sekalipun mayoritas Ulama Hanafiyah menjadikan istishna' sebagai jual beli yang independen. Penulis lebih condong pada pendapat non-Hanafiyah yang tidak membolehkan transaksi ini. Berbeda dengan salam yang ditopang dengan dalil keabsahan yang kuat baik dari Al-Qur'an maupun Hadits, istishna' hanya didukung dengan dalil adanya kebutuhan manusia terhadap wujud istishna' tersebut.
Malikiyah secara tidak langsung seakan-akan membolehkan istishna', dengan meng-qiyas-kan pada jual beli ahli Madinah, namun praktek jual beli ahli Madinah hanya terbatas terhadap barang-barang yang setiap hari selalu ada sehingga terlepas dari resiko terjadinya penipuan (gharar), berbeda dengan istishna’.
Demikian makalah singkat ini. Kami akui masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Semoga dapat memperkaya pemahaman Islam kita dan dapat menjadi stimulan untuk mambaca lebih banyak referensi-referensi fiqh Islam yang kaya dengan mutiara-mutiara ilahiyah, sehingga kajian ini tidak berakhir begitu saja bersamaan dengan berakhirnya bacaan yang ada di tangan pembaca. Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, bahwa makalah ini hanyalah pengantar diskusi kita.
Terima kasih, puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. Yang telah memudahkan segala urusan, membimbing ke jalan kebaikan. Kepada para ulama yang telah memberikan banyak ilmunya kepada kami lewat buku-buku mereka, semoga Allah memberikan pahala berganda di setiap tetes tinta mereka. Kepada orang tua dan guru yang senantiasa mengawasi, mengajari dan memberikan petunjuk setiap waktu, kepada rekan-rekan ISC sebagai motivator; pemberi semangat, hingga kami dapat menyelesaikan tugas yang diamanatkan. Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, semoga segala bentuk kerja, ibadah dan pengabdian akan beroleh pahala berlipat ganda dan bermanfaat di dunia dan di akhirat kelak. Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn!

Bibliography
Al Qurân Al Karîm
Ahmad, Ali., Al Mursi Abd. Aziz. Qutûfun min Al Uqûd fi Al Fiqh Al Islâmy. Kairo: Al Azhar. 1993. cet. I
Al-Jaziri, Abdul Rahman. Al fiqh alâ al-Madzâhib Al-Arba'ah. Kairo: Dar Al-Fajr Al-Turats. 2000M. jilid II
Al-Maliki, Muhammad bin Ahmad bin 'Arafah Al-Dasuki. Hasyitu ad-Dasuki. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. 2003M. jilid IV
Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari. Al-Jami'u li Ahkâm al-Qurân. Kairo: Maktabah al-Tawfikiah. jilid III
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Al Jami’ li Ahkâm Al Qurân. Kairo: Dar Al Hadits. 2002. jilid II. juz III
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia. 2001. cet. 1
As Syafi’I, Al Imam. Mausû’ah Al Um. Kairo: Al Maktabah Al Tawfikia. 2003. juz 3
As Syafi’I, Al Qadhi Abi Suja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al Ashfahany. Matnu Al Ghâyah wa At Taqrîb. Kairo: Maktabah Al Ilm wa Al Iman. tanpa tahun
As-Syarbini, Muhammad al- Khatib. Mughni al- Muhtâj ilâ Ma'rifati Alfâdz al-Minhâj. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr. 2005M. jilid II.
Az Zuhaily, DR. Wahbah. Al Fiqh Al Islâmiy wa Adillatuh. Damsyiq: Dar Al Fikri. 2004. cet. IV. jilid V
Ismail, Muhammad Bakr. Al Fiqh Al Wâdhih. Kairo: Dar Al Manar. 1997. cet. II. jilid III
Lajnah min Asatidzah Qism Al Fiqh. Al Mu’âmalât. Fakultas Syariah wal Qanun Al Azhar. 2006
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Fiqh Mu’âmalât. Fakultas Syariah wal Qanun Al Azhar. 2004
Sabiq, Sayyid. Fiqh As Sunnah. Takhrij Syekh Al Al Bany. Cairo: Dar Al Fath lil I’lam Al Araby. 1999. cet II. jilid 4
Syakirin, Ahmad. Produk-produk Investasi Bank Islam. Kairo: ICMI. 2002M





Lampiran :
SKEMA TRANSAKSI SALAM PARALEL
























II. PERBEDAAN ANTARA TRANSAKSI SALAM DAN ISTISHNA’

SUBJEK SALAM ISTISHNA' ATURAN & KETERANGAN
POKOK KONTRAK Muslam fîh Mashnu' Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
HARGA Dibayar saat kontrak Bisa saat kontrak, bisa diangsur, bisa kemudian hari Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’
SIFAT KONTRAK Mengikat secara asli (thabi'i) Mengikat secara ikutan (taba'i) Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna' mengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab
KONTRAK PARALEL Salam paralel Istishna' paralel Baik salam paralel maupun istishna’ sah asalkan kedua kontrak dilakukan secara hukum adalah terpisah

(Sumber: Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia, 2001), cet. 1, hal. 110, 116)

Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun

oleh : Suwardi
Pendahuluan
Kemunculan ilmu ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Selama ini, buku-buku tentang sejarah ekonomi yang ditulis para sejarawan ekonomi atau ahli ekonomi, sama sekali tidak memberikan perhatian kepada pemikiran ekonomi Islam.
Apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat kurang dan bahkan terkesan mengabaikan dan menutupi jasa-jasa intelektual para ilmuwan muslim. Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov misalnya, sama sekali tidak memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad pertengahan, padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat dan jauh mendahului pemikiran ekonomi Barat tersebut. Demikian pula buku sejarah Ekonomi tulisan Schumpeter History of Economics Analysis . Satu-satunya ilmuwan muslim yang disebutnya secara sepintas hanyalah Ibn Khaldun di dalam konpendium dari Schumpeter.
Buku Sejarah Pemikiran Ekonomi tulisan penulis Belanda Zimmerman, (terjemahan), juga tidak memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam. Dengan demikian sangat tepat jika dikatakan bahwa buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (konvensional) yang banyak ditulis itu sesungguhnya adalah sejarah ekonomi Eropa, karena hanya menjelaskan tentang pemikiran ekonomi para ilmuwan Eropa.
Padahal sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan yang sangat banyak menulis masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan mengkaji ekonomi secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah ekonomi. Salah satu intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang ekonomi adalah Ibnu Khaldun. (1332-1406). Ibnu Khaldun adalah ilmuwan muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik dan kebudayaan. Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun yang sangat menonjol dan amat penting untuk dibahas adalah pemikirannya tentang ekonomi. Makalah ini akan membahas pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun dengan metode analitis, deskriptif dan komparaif. Pentingnya pembahasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena pemikirannya memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam ke depan. Selain itu, tulisan ini juga ingin menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun adalah Bapak dan ahli ekonomi yang mendahului Adam Smith, Ricardo dan para ekonom Eropa lainnya.
Ibnu Khaldun : Bapak Ilmu Ekonomi
Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun. Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Tulisan ini menurut Zainab Al-Khudairi, disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.
Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc. He discussses the various stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour .
(Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).
Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, menuturkan :
Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…..
(Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…)”
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi.” Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam)
Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam bidang ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun’s Writing dan Nasha’t menulis “al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun). . Selain itu kita memiliki sumbangan-sumbangan kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to History,, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun , Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fi’l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma’ashi khayalat”, (Economic Views of Ibn Khaldun) Rifa’at menulis Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics- a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture”, Abdul Sattar menulis buku Ibn Khaldun’s Contribution to Economic Thought” in: Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam.
Spengler membandingkan dan mempertentangan teori Ibnu Khaldun tentang daur peradaban dengan teori Hick mengenai daur perdagangan. Abdul Sattar mengatakan bahwa teori perkembangan ekonomi lewat tahapan-tahapan berasal dari Ibn Khaldun. Kita mendapatkan perdagangan ekonomi makro “bahwa pada tiap kota terdapat keseimbangan antara pendapatan (income) dan pengeluaran (expenditure) ….. dan bila keduanya (pendapatan dan pengeluaran) bertambah besar, berarti kota itu berkembang”. Shiddiqy mencatat, Ibnu Khaldun juga membahas pentingnya sisi permintaan (demand), terutama pengeluaran negara dalam mengatasi kelesuan bisnis dan mempertahankan perkembangan ekonomi. T.B. Irving juga mencatat, bahwa menurut Ibn Khaldun, “pajak” mempunyai segi pengembali mengecil, dan menyuntikkan keuangan adalah perlu untuk menjaga agar dunia usaha berjalan lancar”.
Abdul Qadir mencatat bahwa tenaga kerja menempati posisi sentral dalam teori Ibn Khaldun, Abdul Sattar mengatakan teori kerja tentang nilai berasal dari Ibn Khaldun, Somagyi secara tepat mengemukakan bahwa Ibn Khaldun mendahului Adam Smith dalam beberapa hal. Abdul Qadir menganggapnya sebagai pelopor kaum merkantalis, karena pandangannya mengenai pentingnya posisi emas dan perak dalam perdagangan. Ia menyoroti titik berat yang diletakkan Ibn Khaldun atas faktor-faktor ekonomi dalam penafsiran sejarah dan usahanya untuk menghubungkan kemajuan ekonomi dengan stabilitas politik Ibn al Sabil menganggap Ibn Khaldun sebagai perintis (pelopor) yang jauh mendahului Karl Marx, Proudhon, dan Engels. tentang pandangan Ibnu Khaldun mengenai kemiskinan dan sebab-sebabnya.
Rifa’at juga menunjukkan fakta historis bahwa Ibn Khaldun telah mendahului analisa-analisa dari ilmuwan Barat yang datang belakangan, seperti teorinya tentang utility (manfaat). Selanjutnya Ibnu Khaldun membahas tentang fungsi uang. Menurutnya uang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai ukuran (alat) pertukaran (standart of excange) dan sebagai penyimpan nilai (store of value) . Rifa’t memperbandingkan teori Ibn Khaldun dan teori Malthus mengenai kependudukan. Di sini Rifat menemukan sejumlah kesamaan antara keduanya, walaupun Ibn Khaldun tidak menyebutkan tentang pengawasan preventif.
Dalam pembahasannya yang mendasar mengenai Ibn Khaldun, Tahawi menjelaskan bagaimana kependudukan dan kemajuan ekonomi berhubungan erat satu dengan yang lainnya di dalam modelnya. Ibn Khaldun juga memperingatkan campur tangan negara dalam perekonomian dan beranggapan bahwa pasar bebas lebih menjamin terciptanya distribusi yang adil/wajar. Tahawi selanjutnya meringkaskan pandangan Ibnn Khaldun mengenai penentuan harga oleh hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply), mengenai uang, nilai dan gunanya serta prinsip-prinsip mengenai perpajakan dan pengeluaran pemerintah.
Boulakia mencatat penekanan Ibn Khaldun atas pentingnya organisasi kemasyarakatan dalam produksi, yang faktor utamanya adalah kerja manusia. Kemudian menyusul peranan division of labour (pembagian tenaga kerja) secara internasional yang lebih didasarkan pada keterampilan penduduk di berbagai daerah daripada sumber-sumber kekayaan alamnya. Teori Ibn Khaldun mengandung embrio dari teori perdagangan internasional, disertai suatu analisa tentang syarat pertukaran antara negara kaya dengan negara-negara miskin, tentang kecendrungan alamiyah untuk impor dan ekspor, tentang pengaruh instruktur ekonomi atas pembagunan dan tentang pentingnya modal intelektual (intelektual capital) di dalam proses pertumbuhan”.
Berdasarkan paparan di atas yang didasarkan pada analisa ilmiah para ilmuwan terkemuka, maka dapat disimpulkan dan dipastikan bahwa Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi dunia, sedikitpun hal itu tidak diragukan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi sebagaimana disebut di atas secara ringkas, akan dieleborasi pada pembahasan berikut ini.
Urgensi Ekonomi Menurut Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara satu fenomena sosial dengan fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomis, memainkan peran penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar atas eksistensi negara (daulah) dan perkembangannya. Pendapat-pendapat Ibn Khaldun yang begitu unik tentang hal ini akan dibahas dalam sub tulisan ini.
Gaston Bouthoul dalam karyanya mengatakan bahwa untuk memahami filsafat sejarah Ibn Khaldun, tidak boleh tidak harus menaruh perhatian terhadap dua macam realitas yang dikajinya. Pertama, realitas ekonomis (dan geografis). Kedua, realitas psikis (mental-spiritual). Pendapat Gaston tersebut dapat dibenarkan, karena Ibn Khaldun, seperti akan diuraikan nanti, menginterpretasikan sejarah secara ekonomis, yakni ia memandang faktor ekonomi sebagai faktor terpenting yang menggerakkan sejarah.
Ibn Khaldun telah mengkhususkan bab kelima kitab al-muqaddimah untuk mengkaji “penghidupan dengan berbagai segi pendapatan dan kegiatan ekonomis”. Selain itu, ia juga mengkhususkan kajian-kajian ekonomi pada beberapa pasal, pada bab-bab ketiga dan keempat.
Muhammad Hilmi Murat, dalam makalahnya “Abu al-Iqtishad: Ibn Khaldun” yang disampaikan dalam simposium tentang Ibn Khaldun, mengatakan bahwa Ibn Khaldun adalah pengasas (peletak dasar) ilmu ekonomi. Adapun karya-karya tentang masalah ekonomi sebelumnya bernada kurang ilmiah, karena para pemikir Yunani, Romawi dan para pemikir zaman pertengahan memasukkan masalah-masalah ekonomi dalam kajian-kajian moral atau hukum, dan tidak ada seorang pemikir pun sebelum Ibn Khaldun, baik Muslim maupun bukan, yang menaruh perhatian terhadap ekonomi politik sebagai ilmu yang mandiri. Sebelum Ibn Khaldun, fenomena-fenomena ekonomis dikaji dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga dan dikaji dari tinjauan hukum atau filsafat. Atau dengan kata lain masalah-masalah ekonomis selalu dikaji secara normative. Sementara Ibn Khaldun mengkaji masalah-masalah tersebut dengan jalan mengkaji sebab-sebabnya secara empiris, memperbandingkannya, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum yang menjelaskan fenomena-fenomena tersebut.
Pendapat Muhammad Hilmi Murat di atas senada dengan pendapat Muhammad ‘Ali Nasy’at dalam karyanya al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun. Menurut Muhammad ‘Ali Nasy’at, Ibn Khaldun dalam kajiannya terhadap fenomena-fenomena ekonomis mempergukana metode induksi dan analogi, juga tidak mengabaikan desuksi. Dengan demikan ia dapat dipandang sebagai orang yang pertama-tama mengasas aliran ekonomi secara ilmiah. Dengan kenyataan ini ia lebih dahulu ketimbang Adam Smith, (seorang ahli ekonomi Inggris yang, oleh orang yang tidak mengetahui kontribusi Ibn Khaldun di bidang ini, dipandang sebagai tokoh yang pertama-tama meninjau ekonomi secara ilmiah melalui karyanya The Wealth of Nations). Lebih jauh lagi Muhammad a’Ali Nasy’at manambahkan bahwa tulisan Ibn Khaldun dalam masalah ekonomi bukanlah merupakan sejumlah pengetahuan atau pikiran yang terpencar-pencar dalam berbagai pasal di dalam al-muqaddimah, tetapi merupakan sejumlah pengetahuan atau pikiran yang teratur dan rancak dalam pasal-pasal yang sebagian besar terdapat dalam bab-bab ketiga, keempat dan kelima al-muqaddimah. Oleh karena itu, apa yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah, dapat disebut dengan ilmu dengan pengertian yang luas.
Sebagaimana disebut dia atas, bahwa tak diragukan lagi, Ibn Khaldun adalah seorang perintis dan pengasas di dalam bidang ekonomi, pendapat-pendapatnya dalam bidang ekonomi sosial ternyata juga menarik sekali. Tokoh ini telah menyadari adanya dampak besar faktor-faktor ekonomi terhadap kehidupan sosial dan politik. Menurut Ibn Khaldun, perbedaan sosial di antaranya yang timbul karena perbedaan aspek-aspek kegaitan produksi mereka.
Ibnu Khaldun’s Circle of Equity
Di antara pemikiran Ibnu Kaldun yang sangat penting dan unik adalah pemikirannya tentang circle of equity. Dalam lingkran keadilan ini Ibnu Khaldun menguhubungkan antara beberapa variabel yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam memajukan atau memundurkan peradaban. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :

Di mana :
• G = Government (pemerintah) = الملك
• S = Syari’ah = الشريعة
• W = Wealth (kekayaan/ekonomi) =الأموال
• N = Nation (masyarakat/rakyat)= الرجال
• D = development (pembangunan) = عمارة
• J = Justice (Keadilan) = العدل
Gambar tersebut dibaca sebagai berikut :
1. Pemerintah (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan
implementasi Syari’ah (S)
2. Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh pemerintah/penguasa (G)
3. Pemerintah (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh masyarakat (N)
4. Pemerintah G) yang kokoh tidak terwujud tanpa ekonomi (W) yang tangguh
5. Masyarakat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan ekonomi/kekayaan (W)
6. Kekayaan (W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (D)
7 . Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (J)
8. Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan keadilan (J)
9. Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi oleh Allah
Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan hubungan variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah negara (G). Variabel tersebut adalah syari’ah (S), masyarakat (N), kekayaan (W), pembangunan (D) dan keadilan (J)
Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan keruntuhannya. Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang dianggap tetap (cateris paribus) sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini. Karena memang tidak ada variabel yang tetap (konstan) . Satu variabel bisa menjadi pemicu, sedangkan variabel yang lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan menimbulkan dampak mundur, tetapi bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali. Sebaliknya, jika tidak bisa diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu menuju kemunduran..Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk diidentifikasi penyebab dan akibatnya.
Hubungan variabel-variabel di atas dapat digambarkan sbb :

Bila masing-masing variabel itu digabung, relasi fungsional terwujud dalam formula
G = f (S, N, W, D,J) (1.1).
G adalah fungsi dari variabel (S, N, W, D, J). G ditempatkan sebagai variabel dependent, karena G dalam hal ini adalah kelangsungan peradaban, kejayaan atau kemunduran/keruntuhan, dipengaruhi oleh lima variabel tersebut. Secara sederhana bisa dibaca bahwa penguasa (G) bertugas dan bertangung jawab menerapkan syari’ah (S) , sebab tanpa syari’ah, masyarakat (N) akan kacau, negara akan runtuh. Negara juga harus menjamin hak-hak masyarakat dan bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan masyarakat (N) agar masyarakat sejahtera/makmur (W), melalui pembangunan (D) yang adil ( J). Bila variabel-variavel itu tidak dipenuhi, maka kekuasaan tinggal menunggu waktu runtuhnya.
Apabila relasi fungsional tersebut dimasukkan ke dalam model ekonometrika (analisis statistik), maka hubungan varibel-variabel itu dapat dirumuskan dalam persamaan regresi ganda sebagai berikut :
G = a’ + b’S + c’N + d’W +e’D + f’J (1.2)
Dalam persamaan ini, G merupakan variabel dependen yang dipengaruhi oleh S, N, W, D dan J. Besarnya pengaruh tersebut dapat diukur secara matamatis sesuai dengan rumus analisis statitistik. Dengan demikian besarnya pengaruh masing-masing varibel dapat diukur dengan angka-angka (numerik), sehingga indikatornya tidak lagi bersifat kualitatif. Untuk menghitung besarnya pengaruh tersebut secara numerik digunakan analisis regresi ganda, karena variabel bebasnya banyak. Oleh karenaya banyaknya variabel bebas, maka analisisnya banyak didasarkan pada asumsi.
Sebagaimana disebut di awal, bahwa variabel-variabel tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka setiap variabel bisa menjadi variabel dependent dan yang lainnya varibale independent. Berikut ini relaso fungsional di mana Syari’ah merupakan variabel dependen sedang yang lainnya variabel independen yang dirumuskan sbb :
S = a’ + b’G + c’N + d’W + e’D + fJ (1.3)
Di mana Syari’ah (S) sebagai variabel dependen dipengaruhi oleh peranan negara (G) , ghirah dan peranan ummat (N), aspek kekayaan (W) sebagai penunjang dan pembangunan (D) yang adil (J), termasuk pembangunan institusi pendidikan untuk menanamkan syari’ah.
Apabila W menjadi variabel dependen, maka rumusannya sbb :
W = a’ + b’D + c’J + d’G + e’N + f’S (1.4)
Kesejahtraan/ kekayaan (W) dipengaruhi oleh adanya pembangunan (D) yang adil (J). W juga dipengaruhi oleh peranan negara (G), peranan ummat (N) dan tingkat pemahaman syari’ah (S).

Apabila N sebagai variabel dependen, maka rumusannya sbb :
N = a’ + b’G +c’ S +d’W + e’D +f’J (1.5)
Agar rakyat (N) eksis, maka peranan negara (G) sangat menentukan. Dengan demikian, variabel N sangat dipengaruhi oleh negara (G). Juga tentunya dipengaruhi oleh topangan kekayaan (W). Sebab tanpa kekayaan atau harta (mal), maka N tidak bisa diwujudkan. Dalam Islam sebagaimana dirumuskan Asy-Syatibi dan AlGhazali, harta adalah salah satu di antara lima kebutuhan dhururiyat (kebutuhan paling dasar). N juga dipengaruhi oleh adanya pembangunan (D) yang adil (J). Tanpa pembangunan yang adil nasib rakyat akan terabaikan.
Apabila D menjadi variabel dependen, maka rumusannya sbb :
D = a’ + b’G + c’J + d’S + e’N +f’W (1.6)
Pembangunan (D) dipengaruhi oleh peranan negara (G) dan keberhasilan pembangunan itu ditentukan (dipengaruhi oleh) keadilan (J) . Artinya jika pembangunan itu tidak adil, maka pembangunan itu pada hakikatnya gagal dan ini menjurus pada kemunduran peradaban. Pembangunan yang dijalankan harus sesuai dengan syari’ah (S), artinya ia tergantung pada nilai-nilai syari’ah (S). Pembangunan yang tidak berdasarkan syari’ah, adalah pembangunan yang matarelialistis-kapitalistik. Pembangunan juga harus ditopang oleh kemauan ummat (N) yang dilengkapi dengan triple capital utama, yaitu, human capital, inteligent capital dan organization capital.
Apabila J menjadi variabel dependen, maka rumusannya sbb :
J = a’ + b’ G + c’S +d’N + e’D + f’ S (1.7)
Keadilan (J) dipengaruhi oleh peranan negara (G) atau penguasa yang adil pula. Untuk mewujudkan keadilan itu diperlukan pemahaman syariah (S) dan komitmen kuat pemerintah (G) untuk mewujudkannya dalam pembangunan (D) Penegakan keadilan (J) juga dipengaruhi oleh keinginan rakyat (N) untuk menegakkannya, jika masyarakatnya tidak memiliki komitmen untuk menegakkan kedilan, maka penegakan kedilan akan mendapat ganjalan. J juga dipengaruhi oleh S dan D. Meskipun pengaruh D terhadap J tidak kuat, Variabel pembangunan (D) dan keadilan (J) perlu mendapat perhatian, sebagaimana variabel-variabel lain. Pembangunan merupakan unsur panting dalam masyarakat, tanpa pembangunan masyarakat tidak akan maju dan berkembang. Namun, pembangunan (D) tidak akan berarti tanpa keadilan. (J)
Semua jenis korelasi variabel di atas, mulai dari persamaan regresi pada rumus 1,1 sampai dengan rumus 1.7 dapat dihitung dan diukur dengan menggunakan pendekatan alanisis statitistik yang kuantitatif . Sehingga hasilnya lebih memuaskan daripada pada sekedar analisis kualitatif yang tak terukur.
M.Umer Chapra merumuskan pemikiran Ibnu Khaldun dengan gambar lingkaran, sebut saja lingkaran keadilan.

Negara hanya satu komponen dari beberapa komponen yang ada
maka upaya penegakan Islam dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin di zaman dan wilayah tertentu. Ekonomi yang dilambangkan dengan W juga merupakan salah satu komponen dalam entitas lingkaran di atas.
• Kita bisa memulainya dari gerakan pemahaman ekonomi syari’ah (S), pengembangan kajian, sosialisasi dan mempraktekkanya dalam kehidupan ekonomi masyarakat (N). Upaya ini pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran/kesejahteraan (W) masyarakat. Masyarakat yang makmur jelas akan membayar zakat, infaq, sedeqah dan waqaf sebagai upaya mewujudkan keadilan ekonomi (justice).
• Ketika masyarakat Islam telah makmur, kaya (sejahtera),maka mereka bisa membangun (development) infra struktur seperti lembaga pendidikan dan pusat-pusat pelatihan, sarana ibadah, hotel syari’ah, gedung trade centre, sarana industri, jalan dan jembatan ke sektor produksi, dsb. Semua pembangunan ini hendaklah ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (justice) kesejahteraan masyakat.
• Ketika ekonomi kuat, maka negara /politik (G) pun bisa dikuasai.
Gambar di atas juga menunjukkan siklus kemunduran negara atau al-muluk (G). Jika proses kemunduran negara menuju keruntuhan terjadi, maka arahnya adalah : melawan arah jarum jam :

• Pembangunan (J & D) yang tidak adil mengakibatkan kesejahteraan rakyat yang sejati tidak terwujud, selanjutnya masyarakat menjadi lemah (tidak eksis), masyarakat akan kacau, yang mempengaruhi dan mengganggu pemahaman dan implementasi syari’ah. Ketika syari’ah telah roboh, maka G (daulah/al-mulk) pun runtuh.
Adapun siklus kemajuan peradaban Islam prosesnya adalah berputar seperti arah jarum jam :
• Tanamkan kesadaran syari’ah (S), kemudian
• Kembangkan masyarakat (N) sehingga tercipta masyarakat yang faham syari’ah
• Tingkatkan kekayaan (W) mereka
• Laksanakan pembangunan yang adil
• Barulah Tegakkan pemerintahan (G)
Maka jangan menegakkan negara di mana pemahaman syari’ah belum mantap dan ekonomi ummat belum kuat. Upaya Hizbut Tahrir untuk menegakkan khilafah akan mengalami kegagalan, jika pemahaman syari’ah tidak berhasil ditanamakna kepada ummat dan gerakan ekonomi syari’ah tidak jalan. Jadi, dari pemikiran Ibnu Khaldun ini dapat dipahami bahwa upaya penegakan negara tidak bisa secara mendadak dan instant, tetapi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan gerakan yang komprehensif.
Gerakan ekonomi syari’ah yang sedang berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan signifikan untuk membangun (G). Pemahaman syari’ah (S) dan implementasi pembangunan ekonomi ummat akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang makmur (W) berdasarkan syari’ah. Apabila umat telah makmur, mereka dapat melaksanakan pembangunan secara lebih adil. Bila gerakan ekonomi syari’ah ini, baik secara akademis maupun praktek berjalan sukses (progress), maka akan bermuara pada penguasaan negara.
Umar Chapra menyatakan bahwa ummat Islam sebenarnya mampu menyajikan semua variabel dalam lingkaran keadilan menjadi kekuatan besar. Tetapi sayangnya variabel-variabel itu tidak digerakkan oleh pemerintah (daulah). Pemerintah (G) mulai melupakan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawabnya. Pemerintah gagal mengimplementsikan syari’ah (S) sebagai pedoman dan rujukan ketaatan. Mereka juga lalai dalam menjamin keadilan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan rakyat (N),. Dampaknya pembangunan dan kemakmuran mengalami kemunduran. Inilah yang menjadi pangkal terjadi kemunduran peradaban Islam.
Pembagian Kerja (Division of Labour).
Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan bantuan orang lain (ta’awun). Manusia bisa menjadi kuat apabila melebur diri dalam masyarakat. Kesadaran tentang kelemahan tersebut mendorong manusia untuk bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kesanggupan seseorang untuk mendapatkan makanannya sendiri, tidak cukup baginya untuk mempertahankan hidupnya, karena kebutuhannya bukan sekedar makanan. Bahkan untuk mendapatkan sedikit makanan pun, misalnya kebutuhan gandum untuk makan satu hari saja, manusia membutuhkan orang lain. Pembuatan gandum, jelas membutuhkan berbagai pekerjaan (menggiling, mengaduk dan memasak). Tiap-tiap pekerjaan tersebut membutuhkan alat-alat yang mengharuskan adanya tukang kayu, tukang besi, tukang membuat periuk dan tukang-tukang lainnya. Andaikan pun misalnya, ia bisa makan gandum dengan tidak usah digiling lebih dahulu, ia tetap membutuhkan pekerjaan orang lain, sebab ia baru bisa mendapatkan gandum yang belum digiling itu setelah dilakukan berbagai pekerjaan, seperti menanam, menuai dan memisahkan gandum itu dari tangkainya. Bukankah semua proses ini membutuhkan banyak alat dan pekerjaan.
Jadi, mustahil bagi seseorang untuk melakukan semua atau sebagian pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena itu merupakan keharusan baginya untuk mensinergikan (ta’awun) pekerjaannya dengan pekerjaan orang lain. Manusia membutuhkan kerjasama ekonomi. Dengan kerja sama dan tolong-menolong dapat dihasilkan bahan makanan yang cukup untuk waktu yang lebih panjang dan jumlah yang lebih banyak. ” . Untuk itu diperlukan adanya pembagaian kerja (division of labour) antara individu dalam masyarakat, karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, pasti tergantung pada orang lain.
Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana yang ia kemukakan pada bab kelima al-muqaddimah, ada tiga kategori utama dalam kerja: pertanian, perdagangan dan berbagai kegiatan lainnya.
Sarana produksi yang paling sederhana adalah pertanian. Pekerjaan ini, menurut Ibn Khaldun, tidak memerlukan ilmu dan ia merupakan “penghidupan orang-orang yang tidak punya dan orang-oarng desa”. Oleh karena itu pekerjaan ini jarang dilakukan oleh orang-orang kota dan orang-orang kaya. Di sini kelihatan Ibn Khaldun meletakkan pertanian pada peringkat pekerjaan yang sedikit lebih rendah daripada pekerjaan profesi orang-orang kota. Penilaian Ibnu Khaldun ini setidaknya disebabkan tiga alasan. Pertama, tidak memerlukan ilmu yang luas dan dalam, sebab siapa saja bisa menjadi petani tanpa harus sekolah pertanian. Analisa ini dikemukakan nya karena pada saat itu kondisi masyarakat masih sederhana dan belum ada fakultas pertanian seperti sekarang. Kedua, bila ditinjau dari segi besarnya penghasilan, para petani umumnya berpenghasilan rendah dibanding orang-orang kota. Ketiga, para petani diwajibkan membayar pajak. Menurut Ibn Khaldun orang-orang yang membayar pajak adalah orang-orang yang lemah, sebab orang-orang yang kuat tidak mau membayar pajak. Alasan ketiga ini juga sifatnya kondisional yang berbeda dengan kondisi modern sekarang ini.
Perdagangan
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa para petani menghasilkan hasil pertanian lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Karena itu mereka menukarkan kelebihan produksi mereka dengan produk-produk lain yang mereka perlukan. Dari sinilah timbul perdagangan (tijarah). Jadi, pekerjaan perdagangan ini secara kronologis timbul setelah adanya produksi pertanian Seperti telah dikemukan, perdagangan adalah upaya memproduktifkan modal yaitu dengan membeli barang-barang dan berusaha menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Ini dijalankan, baik dengan menunggu meningkatnya harga pasar atau dengan membawa (menjual) barang-barang itu ke tempat yang lebih membutuhkan, sehingga akan didapat harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan lain dengan menjual barang-barang itu atas dasar kredit jangka panjang.
Selanjutnya Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa laba perdangangan yang diperoleh pedagang akan kecil bila modalnya kecil. Tetapi bilamana kapital besar maka laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang besar”. Perdagangan menurutnya adalah “pembelian dengan harga murah dan penjualan dengan harga mahal”. Pekerjaan pedagang ini, menurut Ibn Khaldun, memerlukan prilaku tertentu bagi pelakunya, seperti keramahan dan pembujukan. Namun para pedagang sering kali melakukan kebiasaan mengelak dari jawaban yang sebenarnya (dusta), dan pertengkaran”, karena itu para pedagang selalu mengadukan persoalan sengketa perdagangan kepada hakim
Ibnu Khaldun juga mengkritik para pejabat dan penguasa yang melakukan perdagangan. Hal ini agaknya dimaksudkan Ibnu Khaldun agar para penguasa bisa berlaku fair terhadap para pedagang. Point ini menjadi penting diterapkan pada masa kini, agar tidak terjadi monopoli proyek oleh penguasa yang pengusaha.
Perindustrian
Perindustrian, menduduki peringkat budaya yang tinggi dan lebih kompleks ketimbang pertanian dan perdagangan. Perindustrian umumnya terdapat pada kawasan-kawasan perkotaan di mana penduduknya lebih mencapai peringkat kebudaan yang lebih maju. “Di kota-kota kecil jarang terdapat industri-industri kecuali industri yang sederhana. Apabila peradaban (civilization) semakin meningkat dan kemewahan semakin meluas, maka industri benar-benar akan tumbuh dan berkembang dengan nyata”. Jadi, setiap kali peradaban semakin meningkat maka semakin berkembanglah industri, karena antara keduanya terjalin hubungan yang erat. Industri-industri yang kompleks dan beraneka ragam itu membutuhkan banyak pengetahuan, skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu individu-individu yang bergerak di bidang ini harus memiliki spesialisasi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan perindustrian ini membutuhkan bakat praktis dan ilmu pengetahuan”.
Ibn Khaldun mengklasifikasikan industri menjadi dua, pertama, industri yang memenuhi kebutuhan manusia, baik yang primer maupun yang skunder, dan kedua industri yang khusus bergerak di bidang ide/pemikiran, seperti “penulisan naskah buku-buku, penjilidan buku, profesi sebagai penyanyi, penyusunan puisi, pengajaran ilmu, dan lain-lain sebagainya”. Ibn Khaldun juga memasukkan profesi tentara dalam klasifikasi yang terakhir ini.
Spesialisasi di bidang industri tidak hanya bergerak secara individual, tapi juga bercorak regional atau dengan kata lain ada kawasan tertentu yang memiliki keahlian dalam suatu bidang industri sementara kawasana lainnya memiliki keahlian dalam industri lainnya sesuai dengan kesiapan masing-masing kawasan.
Pembagian kerja di atas berdasarkan pembagian masyarakat menjadi dua, yakni masyarakat desa dan masyarakat kota. Masyarakat desa bergerak di bidang pertanian dan pemeliharaan hewan. Sedangkan masyarakat kota bergerak di bidang perdagangan dan perindustrian. Sebagian para penulis secara keliru, memandang pengkatagorian masyarakat desa hanya didasarkan pada penggembalaan hewan saja. Ini terjadi karena kekeliruan memahami kata “ra’yu”, yang menurut mereka berarti pemgembalaan hewan. Di antara yang berpendapat yang demikian itu ialah Gaston Bouthoul dalam karya Ibn Kaldoun, sa philosophie sociale, dan Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr dalam karyanya Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr berpendapat bahwa Ibn Khaldun mengklasifikasikan bangsa-bangsa berdasarkan pola produksinya menjadi tiga kategori: para pengembala yang tersebar di tanah-tanah dataran rendah dan pegunungan, kaum baduwi dan nomaden, dan penduduk kota.
Kekeliruan dalam memahami makna kata “ru’ya”, tersebut timbul karena kata itu dipahami dalam maknanya pada masa kita ini. Padahal kata itu bagi Ibn Khaldun memiliki makna yang lain, yakni orang-orang yang tinggal di luar kota, terlepas mereka itu pengembala yang nomaden atau petani yang menetap. Kata Ibn Khaldun: “Pendapat kita bahwa kehidupan desa mendahului dan menjadi asal kehidupan kota, dikuatkan dengan kenyataan bahwa penyelidikan tentang nenek moyang penduduk kota mana saja akan memberikan bukti bahwa sebahagian besar mereka berasal dari desa yang bedekatan dengan kota tempat nenek moyang mereka itu. Mereka datang sewaktu mereka sudah dapat memperbaiki kehidupannya dan beralih kepada kehidupan yang penuh kesengajaan dan kemewahan yang ada di kota. Ini menunjukkan bahwa masyarakat desa lebih dulu terwujud ketimbang masyarakat kota”. Sementara pada tempat lain ia mengatakan: “Dan untuk mencukupi kebutuhannya para petani dan peternak hewan, terpaksa pergi ke teempat-tempat lain yang masih terbuka luas, yang tidak terdapat di kota-kota, untuk persawahan, pengembalaan, dan sebagainya…
Yang dimaksud dengan orang kota ialah orang-orang yang tinggal di kota-kota. Di antara mereka ada yang memperoleh penghidupannya dari industri dan perdagangan. Pengahasilan mereka lebih besar daripada penghasil kelompok yang bekerja dalam bidang pertanian dan peternakan hewan yang tinggal di desa”.
Pendapat Ibn Khaldun tersebut di atas hampir sejalan dengan pendapat Marx yang dikemukakannya dalam karyanya The German Ideology. Kata Marx: “Pembagaian kerja dalam suatu bangsa pertama-tama akan membuat terpisahnya kerja industrial dan perdagangan dari kerja pertanian, dan juga membuat terpisahnya desa dari kota”. Kesamaan itu juga terdapat dalam teks lain dalam karya Marx itu.
Memang kadang-kadang ada persamaan antara Ibn Khladun dan Marx, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan fase pengorganisasian negara. Para penguasa terpaksa pindah ke kota dan harus mengolah administrasinya, antara lain dengan membentuk badan kepolisan dan memberlakukan pajak. Kesamaan pendapat itu juga terdapat dalam hal yang berkenaan dengan kehidupan di kota, yang penuh kemewahan dan orang-orang yang tenggelam dalam kelezatan hidup.
Ibn Khaldun, dalam mengkaji perkembangan berbagai masyarakat, menekankan pentingnya pembagian kerja dalam masyarakat tersebut. Ia mengurutkan bangsa-bangsa dan sistem-sistem yang ia kaji sesuai dengan pola produksi ekonomisnya. Roger Garaudy, dalam salah satu makalahnya tentang Ibn Khaldun, mengatakan bahwa Ibn Khaldun selalu mempergunakan kategori-kategori agama, ras, periode dan geografi dalam membandingkan antara masyarakat desa dan masyarakat kota, seakan-akan Ibn Khaldun mendapatkan adanya pertentangan antar kelas di antara kedua masyarakat itu.
Menurut Ibn Khaldun, fase ekonomi yang pertama dalam kehidupan suatu bangsa ialah fase kehidupan masyarakat desa, yakni fase yang merupakan cikal bakal kebudayaan. “Masyarakat desa lebih dahulu daripada masyarakat kota, dan pedesaan adalah asal kebudayaan dan kota adalah perluasannya”.
Masyarakat desa hidup dalam keadaan sederhana, bersahaja, dan sistem ekonominya juga sangat sederhana, karena penduduknya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Akibatnya pembagaian kerja di kalangan mereka sedikit sekali. Tetapi Keinginan-keinginan mereka akan meningkat, bila mana mereka menjadi penduduk kota, di mana kemewahan telah mempengaruhi pola kehidupan dan kebiasaan mereka. Kebutuhan mereka menjadi bertambah dan pembagaian kerja di antara mereka menjadi lebih tegas.
Para ilmuwan ada yang mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja merupakan pemikiran yang biasa. Muhammad Shalih, misalnya mengatakan bahwa pada dasarnya pembagian kerja merupakan suatu fenomena ekonomi umum yang ada pada setiap ruang dan waktu. Pembagian kerja adalah suatu fenomena historis dalam masyarakat, karena setiap individu dalam memenuhi kebutuhannya pasti membutuhkan hasil kerja orang lain.
Dalam kenyataannya Ibn Khaldun hanya memperbincangkan pembagian kerja dalam masyarakat desa dan masyarakat kota. Kedua masyarakat ini memang memiliki suatu peringkat tertentu dalam kebudayaan, semua orang tahu akan hal itu. Juga merupakan pemikiran yang biasa, pendapat Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa industri menimbulkan dampak adanya fenomena pembagian kerja. Dengan demikian Ibn Khaldun tidak melupakan hubungan yang ada antara peringkat kebudayaan dan pembagian kerja. Adanya kaitan antara industri dan pembagian kerja sendiri juga diakui Marx, antara lain seperti yang dikemukakan dalam karyanya Misere de la Philosophie. Tidak ada yang luar biasa dalam pemikiran Ibnu Khaldun, karena pemikirannya banyak memiliki kesamaan dengan pemikiran-pemikiran ilmuwan sesudahnya
Di sini Muhammad Mushlih keliru. Justru, di situlah terletak kehebatan Ibnu Khaldun, karena ia telah merumuskan pemikiran division of labour beberapa abad sebelum pemikir Barat, seperti Karl Marx merumuskannya.
Lebih jauh lagi Muhammad Shalih mengkritik sikap Ibn Khaldun yang tidak menaruh perhatian terhadap dampak-dampak yang timbul akibat adanya pembagian kerja, seperti timbulnya kelas-kelas sosial. Ibnu Khaldun juga, katanya tidak menaruh perhatian terhadap sumber-sumber pembagian kerja. Dalam menjawab kritik ini Muhammad ‘Ali Nasy’at, dalam karyanya al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun, menyatakan bahwa pembagian kerja yang diperbincangkan Ibn Khaldun adalah pembagian kerja sebelum revolusi industri. Pada masa itu pembagian kerja belum lagi mempunyai dampak luas seperti halnya yang terjadi pada produksi yang besar. Dari sini perlu ditambahkan bahwa dalam menilai seorang ilmuwan, seperti Ibn Khaldun, tidak bisa dilakukan dengan ukurun-ukuran modern, zaman industri dan kemajuannya yang luar biasa. Demikian juga, hendaknya kita tidak menuntutnya memliki pendapat-pendapat yang belum berkembang pada masanya. Dalam menilai pemikiran seorang tokoh, pendapat Arnold Toynbee perlu diperhatikan. Dalam karyanya A Study of History, ia menyatakan bahwa pengkajian terhadap seorang pemikir, tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Seorang tokoh adalah anak dari zamannya.
Teori harga dan Hukum Supply and Demand
Ibnu Khaldun ternyata telah merumuskan teori harga jauh sebelum ekonom Barat modern merumsukannya. Sebagaimana disebut di awal Ibnu Khaldun telah mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Malthus. Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan.Ibnu Khaldun, dalam bukunya Al-Muqaddimah menulis secara khusus satu bab bab yang berjudul “Harga-harga di Kota”. Menurutnya bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, rakyatnya semakin makmur, maka permintaan (supply) terhadap barang-barang semakin meningkat, akibatnya harga menjadi naik. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis:
اان المصر اذا كان مستبحرا موفور العمران كثير حاجة الترف توافرت حينئذ الدواعى على طلب تلك المرافق والاستكثار منها . كل بحسب حاله فيقصر الموجود منها على الحاجة قصورا بالغا ويكثرالمستمان لها وهى قليلة في نفسها فتزدحم أهل الأغراض ويبذل أهل الرفه والترف أثمانها باسراف في الغلاء لحاجاتهم اليها أكثر من غيرهم فيقع فيها الغلاء كما تراه .
Artinya : Sesungguhnya apabila sebuah kota telah makmur dan berkembang serta penuh dengan kemewahan, maka di situ akan timbul permintaan (demand) yang besar terhadap barang-barang. Tiap orang membeli barang-barang mewah itu menurut kesanggupannya. Maka barang-barang menjadi kurang. Jumlah pembeli meningkat, sementara persediaan menjadi sedikit. Sedangkan orang kaya berani membayar dengan harga tinggi untuk barang itu, sebab kebutuhan mereka makin besar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya harga sebagaimana anda lihat.
Franz Rosenthal yang menerjemahkan buku Muqadddimah Ibnu Khaldun menjadi The Muqaddimah: An Introduction to History, menerjemahkan kalimat di atas sebagai berikut :
When a city has a highly developed, abundant civilization and is full of luxuries, there is a very large demand for those conviniences and for having as many of them as a person can expect in view of his situation . This results in a very great shortage of such things. Many will bit for them , but they will be in short supply. They will be needed for many purposes and prosperous people used to luxuries will pay exorbitant prices for them, because they needed them more than others. Thus, as one can see, prices some to be high .
Di sini Ibnu Khaldun telah menganalisa secara empiris tentang teori supply and demand dalam masyarakat. Dalam kalimat di atas Ibnu Khaldun secara ekspilisit memformulasikan tentang hukum supply dan kaitannya dengan harga. Menurutnya apabila sebuah kota berkembang pesat, mengalami kemajuan dan penduduknya padat, maka persediaan bahan makanan pokok melimpah. Hal ini dapat diartikan penawaran meningkat yang berakibat pada murahnya harga barang pokok tersebut. Inilah makna tulisan Ibnu Khaldun.
فاذا استبحر المصر وكثر ساكنه رخصت أسعار الضروري من القوت
Artinya : Apabila sebuah kota berkembang pesat, penduduknya padat, maka harga-harga kebutuhan pokok (berupa makanan) menjadi murah.
Analisa supply and demand Ibnu Khaldun tersebut dalam ilmu ekonomi modern, diteorikan sebagai terjadinya peningkatan disposable income dari penduduk kota. Naiknya disposible income (kelebihan pendapatan) dapat menaikkan marginal propersity to consume (kecendrungan marginal untuk mengkonsumsi) terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut. Hal ini menciptakan demand baru atau peningkatan permintaan terhadap barang-barang mewah. Akibatnya harga barang-barang mewah akan meningkat pula. Adanya kecendrungan tersebut karena terjadi disposable income penduduk seiring dengan berkembangnya kota. Hal itu dapat digambarkan pada kurva di bawah ini .
Inilah teori supply and demand Ibnu Khaldun. Menurutnya, supply bahan pokok di kota besar jauh lebih besar dari pada supply bahan pokok penduduk desa (kota kecil). Penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang berlimpah yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar relatif lebih murah. Sementara itu, supply bahan pokok di desa relatif sedikit, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan, sehingga harganya relatif lebih mahal. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis dalam Al-Muqaddimah :
اعلم أن الأسواق كلها تشتمل على حاجة الناس فمنها الضروري وهي الأقوات من الحنطة وما في معناها كاالباقلاء والبصل والثوم وأشباهه ومنها الحاجي والكمالي مثل الأدم والفواكه والملابس والمراكب وسائر الصنائع والمباني فاذا استبحر المصر وكثر ساكنه رخصت أسعار الضروري من القوت وما في معناهه وغلت أسعار الكمالي من الأدم والفواكه وما يتبعها واذا قل ساكن المصر وضعف عمرانه كان الأمر با العكس
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya semua pasar menyediakan kebutuhan manusia, di antaranya kebutuhan dharuriy (primier), yaitu makanan pokok seperti gandum dan segala jenis makanan pokok lainnya seperti sayur buncis, bawang merah, bawang putih dan sejenisnya. Ada pula kebutuhan yang bersifat hajiy (sekunder) dan kamaly (tertier) yang merupakan kebutuhan pelengkap seperti bumbu makanan, buah-buahan, pakaian, perabot rumah tangga, kenderaan, dan seluruh produk hasil industri. Apabila sebuah kota berkembang maju dan penduduknya padat (banyak), maka murahlah harga barang kebutuhan dharuriy seperti makanan pokok dan menjadi mahal harga-harga barang kebutuhan pelengkap, Apabila penduduk suatu daerah sedikit (seperti desa) dan lemah peradabannya, maka terhadi sebaliknya.(terjadi harga mahal)
Analisa Ibnu Khaldun tentang harga dengan menggunakan hukum kekuatan supply and demand adalah suatu rumusan yang sangat luar biasa, karena jauh sebelum kelahiran ekonom modern, ia secara cerdas telah merumuskannya. Dari kalimat pertama Ibnu Khaldun di atas, jelas, bahwa pasar menurutnya merupakan tempat yang menyediakan kebutuhan manusia, baik kebutuhan primer maupun sekunder dan tertier. Pada kalimat selanjutnya ia mengkategorikan segala macam biji-bijian merupakan bagian dari bahan makanan pokok. Supply makanan pokok di kota besar berlebih dari kebutuhan penduduk kota, sehingga harganya menjadi murah.
Yang menarik dan penting untuk digaris bawahi adalah pernyataan Ibnu Khaldun yang digaris bawahi di atas. Secara jelas ia menyatakan, bahwa apabila sebuah kota berkembang maju dan penduduknya padat (banyak), maka murahlah harga barang kebutuhan dharuriy seperti makanan pokok. Apabila penduduk suatu daerah sedikit (seperti desa) maka harga menjadi mahal. Dasar pemikirannya ialah bahwa di desa (kota kecil) yang sedikit penduduknya, supply bahan makanan sedikit, karena mereka memiliki supply kerja yang sedikit dan kecil, sehingga mereka khawatir akan kehabisan persediaan makanan pokok. Merekapun menyimpan makanan yang mereka miliki. Persediaan itu sangat berharga bagi mereka dan orang-orang yang membelinya haruslah membayar dengan harga yang tinggi.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan :
وأما الأمصار الصغيرة والقليلة الساكن فأقواتهم قليلة لقلة العمل فيها وما يتوقعونه لصغر مصرهم من عدم القوت فيتمسكون بما يحصل منه في أيديهم و يحتكرونه فيعز وجوده لديهم ويغلو ثمنه على مستامه وأما مرافقهم فلا تدعو اليها أيضا حاجة بقلة الساكن وضعف الأحوال قلا تنفق لديهم سوقه فيختص با الرخص في سعره
Artinya : Kota-kota kecil (desa) yang sedikit penduduknya, membutuhkan makanan yang sedikit, karena sedikitnya pekerjaan di dalamnya. Hal ini disebaban karena kota itu kecil, di mana persediaan makanan pokok, kurang. Oleh karena itu mereka memadakan (makanan) apa adanya dan menyimpannya. Maka makanan menjadi berharga bagi mereka, sehingga harganya naik (mahal) bagi mereka yang ingin membelinya. Mereka juga tidak ada permintaan (demand) terhadap barang-barang hajiyat (sekunder), karena sedikitnya penduduk yang mampu dan lemahnya keadaan (ekonomi) mereka. Sedikit bisnis yang bisa mereka lakukan, sehingga konsekuensinya harga barang sekunder/tertier menjadi murah.
Foodstuffs in small cities that have few inhabitants are few, because they have a small (supply) of labour and because , in view of the small size of the city , the people fear food shortages. Therefore they hold on to (the food) that comes in to their hands and store it. It thus becomes something precious to them and those who want to buy it have to pay higher prices. They also have no demand for conveniences, because the inhabitants are few and their condition is weak. Little business is done by them , and the price there , consequently become particularly low.
Hukum supply and demand Ibnu Khaldun di atas dapat diillustrasikan sebagai berikut :

Keterangan Gambar : Supply bahan pokok penduduk kota besar (QS2), jauh lebih besar daripada supply bahan pokok penduduk kota kecil Qs1. Menutut Ibnu Khaldun, penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar realtif lebih murah (P2). Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, realtif kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya lebih mahal (P1)
Ibnu Khaldun juga menjelaskan pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut pada sisi penawaran. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bea cukai yang dipungut atas bahan-makanan di pintu-pintu kota dan pasar-pasar untuk raja juga para petugas pajak menarik keuntungan dari transaskis bisnis untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh sebab itulah, maka harga di kota-kota lebih tinggi dari di desa . Di sini Ibnu Khaldun ingin menjelaskan bahwa pajak berpengaruh terhadap harga-harga.
Selanjutnya Ibnu Khaldun juga membahas masalah profit (ribh),. Menurutnya keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Keuntungan yang rendah akan membuat lesu perdagangan karena para pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, jika pedagang mengambil keuntungan yang sangat tinggi, juga akan menimbulkan kelesuan perdagangan karena permintaan konsumen melemah. Hal yang patut juga dicatat dari pemikiran Ibnu Khaldun ialah penjelasannya yang detail dan eksplisit tentang elemen-elemen persaingan. Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati fenomena tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus pada penjelasan fenomena aktual yang terjadi, sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi.
Dalam mengkaji masalah demand, Ibnu Khaldun membahas faktor-faktor penentu yang menaikkan dan menurunkan permintaan. Menurutnya, setidaknya ada lima faktor, 1. Harga, 2. Pendapatan, 3. Jumlah penduduk, 4. kebiasaan masyarakat dan 5. Pembangunan kesejahteraan umum.
Sedangkan dalam konteks supply, faktor-faktor penentunya ada enam, 1. Harga, 2. permintaan, 2. Laju keuntungan, 4. Buruh, 5. Keamanan, 6 Tingkat kesejahteraan masyarakat.
Ibnu Khaldun merumuskan bahwa peningkatan supply akan menurunkan harga. Sebaliknya, jika terjadi penurunan penawaran akan menaikkan harga. Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan Umer Chapra menyatakan bahwa harga-harga yang terlalu rendah akan merugikan pengrajin dan pedagang, sehingga akan mendorong mereka keluar dari pasar, sebaliknya, harga-harga yang tinggi akan merugikan konsumen. Oleh karena itu, harga-harga yang moderat antara kedua ekstrim tersebut merupakan titik harga keseimbangan yang diinginkan, karena hal itu tidak saja memberikan tingkat keuntungan yang secara sosial dapat diterima oleh pedagang, melainkan juga akan membersihkan pasar dengan mendorong penjualan dan pada gilirannya akan menimbulkan keuntungan dan kemakmuran besar
Di sisi lain, harga-harga yang rendah jelas tetap diinginkan terhadap barang-barang kebutuhan pokok, karena hal ini akan meringankan beban orang miskin yang merupakan mayoritas penduduk. Dari pemikiran Ibnu Khaldun, terlihat bahwa ia sangat menginginkan terciptanya harga yang stabil dengan ongkos (biaya) hidup yang relatif rendah.
Meningkatnya permintaan sangat mempengaruhi penawaran. Kondisi ini akan menaikkan harga-harga barang. Realita ini secara panjang lebar telah dipaparkan Ibnu Khaldun sebagaimana telah dikemukakan di atas secara ringkas.
Upah Buruh
Ibnu Khaldun juga telah membahas masalah upah buruh dalam perekonomian. Ia menybut istilah buruh dengan terminologi shina’ah (pekerjaan di pabrik) sebagaimana dituliskannya dalam Muqaddimah :
ان الصناعة هي ملكة في امر عملي فكري و بكونه عمليا هو جسماني محسوس والا حوال الجسمانية المحسوسة فنقلها بالمباشرة
Pekerjaan (di pabrik/perusahaan) adalah kemampuan praktis yang berhubungan dengan keahlian (skills). Dikatakan keahlian praktis karena berkaitan dengan kerja fisik material, di mana seorang buruh secara langsung bekerja secara indrawi. Dalam terminologi ekonomi modern, shina’ah tersebut dikenal dengan istilah employment (ketenaga kerjaan). Orang yang melaukannya disebut employee atau labour (tenaga kerja atau buruh ).
Ibnu Khaldun adalah ilmuwan pertama dalam sejarah yang memberikan penjelasan detail tentang teori nilai buruh. Menurutnya, buruh adalah sumber nilai. Penting dicatat bahwa Ibnu Khaldun tak pernah menyebut nilai buruh dengan istilah “teori”. Meskipun demikian, penjelesan tentang buruh secara detail dipaparkan Ibnu Ibnu Khaldun pada Bab IV buku Al-Muqaddimah.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang buruh ini selanjutnya dikembangkan oleh David Hume dalam bukunya Political Discouse yang direbitkan tahun 1752 dengan mengatakan, “Setiap yang ada di bumi ini dihasilkan oleh buruh”. Pernyataan ini selanjutnya dikutip Adam Smith dalam footnote, “Segala sesuatu yang dibeli dengan uang atau barang dihasilkan oleh buruh.”. Uang atau barang menyelamatkan kita. Nilai kuantitas buruh kita tukar sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah kuantitas. Dengan demikian, nilai dari sebuah komoditas sebenarnya tidak untuk digunakan atau dikonsumsi sendiri, melainkan untuk ditukar dengan komoditas lain yang sebanding dengan kuantitas buruh. Buruh dengan demikian merupakan alat ukur dari pertukaran nilai seluruh komoditas. Jika paragraf ini yang dipublikasikan pada tahun 1776 dianggap sebagai pemikiran Adam Smith, ternyata pemikiran seperti ini telah dikemukakan Ibnu Khaldun lebih tiga abad sebelum Adam Smith. Buruh sangat dibutuhkan dalam seluruh pendapatan dan keuntungan. Tanpa buruh pendapatan dan keuntungan tidak dapat diperoleh.

وأما الصنائع والاعمال ايضا في الأمصار الموفورة العمران فسبب الغلاء فيها أمور ثلاثة الأول كثرة الحجة لمكان الترف في المصر بكثرة عمراته الثانى اعتزاز أهل الأعمال لخدمتهم وامتها ن أنفسهم لسهولة المعاش في المدينة بكثرة أقواتها . والثا لث كثرة المترفين وكثرة حاجاتهم الى امتهان غيرهم والى استعمال الصناع في مهنهم فيبذلون فى ذالك لأهل الأعمال أكثر من قيمة اعمالهم مزاحمة ومناسفة في الاستئثار فيعتز العمال والصناع وأهل الحرف وتغلو أعمالهم وتكثر نفقات أهل المصر في ذالك.
Artinya : Barang-barang hasil industri dan tenaga kerja juga menjadi mahal di kota-kota yang telah makmur. Kemahalan itu dikarenakan tiga hal.
Pertama, karena besarnya kebutuhan yang ditimbulkan oleh meratanya hidup mewah di suatu kota dan karena banyaknya nya penduduk.
Kedua, tenaga kerja (employee) tidak mau menerima upah yang rendah bagi pekerjaan dan jasanya,karena gampangnya orang mencari penghidupan/pekerjaan dan banyaknya bahan makanan di kota-kota.
Ketiga, karena besarnya jumlah orang-orang kaya dan besarnya kebutuhan mereka kepada tenaga kerja untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mereka, maka muncullah persaingan dalam mendapatkan pelayanan dan tenaga kerja dan mereka berani membayar tenaga kerja lebih dari nilai pekerjaannya. Maka posisi buruh (tenaga kerja) dan orang-orang yang memiliki keahlian menjadi kuat, sehingga upah mereka menjadi naik (mahal),
Dalam bahasa Inggrisnya Rosental menerjemahkannnya sebagai berikut :
Crafts and labour also are expensive incities with an abundant civilization. Thera are three reason for this :
First, they are much needed, because of the place luxury occopies in the city on account of its large population.
Second, industrial workers place a high value on their services and employment ( for they do not to work) since live is easy in a town because of the abundance of food there.
Third, the number of people with money to waste is great, and these people have money needs for which they have to employ the services of others and have to use many workers and their skills. Therefore they pay more for (the services of) workers than their labaour is (ordinarly considered) worth, because there is competition for (the services) and the wish to have axclusive use of them. Thus, workers craftsmen and professional people become arrogant, their labaour becomes expensive, and the expenditure of the inhabitants of the city for this things, increase.
Faktor yang paling menentukan, urgen dan bernilai (qimah) dalam ekonomi menurut Ibnu Khaldun adalah kerja buruh yang memilki skills yang diistilahkannya dengan shina’ah. Mengenai hal ini kata Ibn Khaldun dalam sebuah pasal al-Muqaddimah dengan judul “Realitas Rezki, Pendapatan dan Uraian Tentang Keduanya Serta Bahwa Pendapatan Adalah Nilai Kerja Manusia”:
“Oleh karena itu keuntungan hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja … Ini jelas sekali dalam industri-industri di mana faktor kerja jelas kelihatan. Demikian halnya penghasilan yang diperoleh dari pertambangan, pertanian, atau peternakan, karena kalau tidak ada kerja dan usaha (buruh) maka tidak akan ada hasil keuntungan
Oleh karena itu maka penghasilan yang diperoleh orang dari industri merupakan nilai dari kerjanya para buruh. Dalam industri-industri tertentu harga bahan mentah harus diperhitungkan, misalnya saja kayu dan benang dalam industri kayu dan pertenunan. Nilai kerja buruh adalah lebih besar daripada harga bahan mentahnya, karena kerja dalam kedua industri ini mengambil bagian yang terbanyak.
Dalam perkerjaan-pekerjaan lain dari industri pun nilai kerja harus ditambahkan pada (harga) produksi. Sebab dengan tidak adanya kerja maka tidak akan ada produksi.
Dalam seluruh kegiatan produksi pekerjaan buruh (shina’ah) penting sekali. dan karenanya nilai kerja buruh itu baik besar atau kecil, harus dipentingkan Dalam persoalan-persoalan lain, misalnya, persoalan harga bahan makanan, bagian kerja itu seringkali tidak nampak. Padahal kerja buruh itulah yang menyebebkan adanya out put (produksi). Sekali pun biaya kerja buruh (wage) itu mempengaruhi harga bahan makanan, tetapi hal itu tak menjadi persoalan, sebab sudah menjadi kelazliman bahwa setiap produksi membutuhkan biaya, dalam hal ini biaya buruh. Maka jelaslah bahwa semua atau sebagian besar dari penghasilan dan laba (profit) menggambarkan nilai kerja manusia …”.
Teks di atas secara jelas mengemukakan bahwa nilai sesuatu terletak pada kerja manusia. Dengan kata lain substansi nilai adalah kerja para buruh (shina’ah) . Namun harus dicatat, kata Ibnu Khaldun, bahwa pencurahan tenaga kerja dalam suatu produksi seharausnya mengeluarkan out put yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian antara shina’ah (kerja buruh) dan hasil produksi terdapat hubungan timbal balik, yang berarti bahwa bilaman kuantitas kerja menurun maka nilai produksi akan menurun pula, dan sebaliknya bilaman kuantitas kerja meningkat maka nilai hasil produksi juga meningkat. Menarik sekali bahwa hal yang sama dikemukakan Marx.sekitar 4 abad sesudah Ibnu Khaldun. Kata Marx: “Kuantitas kerja untuk menghasilkan sesuatu saja lah yang menentukan kuantitas nilai produksi (out put) ”.
Untuk menguatkan pendapatnya selanjutnya Ibn Khaldun mengatakan, “Pendapatan yang dinikmati seseorang sesungguhnya merupakan nilai dari kerjanya. Andaikan saja seseorang sepenuhnya tidak memiliki pekerjaan (shina’ah) niscaya ia akan kehilangan pendapatan sepenuhnya.”
Jadi, menurut Ibn Khaldun faktor yang menentukan nilai barang-barang produksi adalah kuantitas kerja yang dicurahkan kepadanya. Hal yang serupa juga dikemukakan Lenin.
Marx bukanlah orang yang pertama-tama mengemukakan tentang nilai pada zaman modern. Hal ini sebelumnya telah dikemukakan seorang ahli ekonomi poltik, William yang berpendapat bahwa materi kekayaan adalah kerja. Setelah itu muncul Ricardo yang dalam bab pertama karyanya Principles of Political Economi and Taxation menyatakan sebagai berikut: “Nilai barang terletak pada kuantitas relatif dari kerja, kuantitas yang diperlukan untuk memproduksinya, dan bukan terletak pada upah yang diberika dalam kerja ini”. Sementara Adam Smith, dalam karyanya Wealth of Nation, dalam menguraikan tentang bentuk paling umum dari hukum nilai antara lain berkata sebagai berikut: “Kerja adalah ukuran riil nilai secara timbal balik”.
Namun ternyata sebelum para pemikir di atas muncul, telah ada seorang pemikir muslim yang menaruh perhatian terhadap kenyataan ekonomis dan juga menaruh perhatian untuk menganalisisnya, sehingga akhirnya ia memahami adanya hukum-hukum yang mengendalikan kenyataan itu dan mengemukakan teori nilainya. Memang ia tidak menguraikan hukum-hukum itu secara rinci dalam beberapa pasal, tetapi meski demikian ia telah meletakkan prinsip-prinsip dengan secara gamblang dan ringkas. Menurut Ibn Khaldun kerja merupakan faktor penting dalam menciptakan kemajuan dan semaraknya kebudayaan. Bilamana Aristoteles memandang rendah kerja tangan, sebaliknya Ibn Khaldun memandang sebagai salah satu pertanda kemajuan kebudayaan. Bahkan kerja buruh (shina’h) merupakan faktor terpenting bagi pertumbuhan kemajuan dan peradaban. Jadi setiap kali kuantitas kerja secara umum meningkat maka akan meningkat pulalah kemakmuran suatu masyarakat, dan sebaliknya bilamana kuantitas kerja menurun maka akan menurun pulalah kondisi ekonomi suatu masyarakat yang dapat berakibat timbulnya disintegrasi politis.
Ibn Khaldun juga mengkaitkan antara jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, setiap kali jumlah penduduk meningkat maka kuantitas kerja pun akan meningkat yang berakibat meningkatnya produksi. Sebaliknya setiap kali jumlah penduduk menurun akan menurun pulalah kuantitas kerja yang berakibat menurunnya produksi. Kata Ibn Khaldun: “Tidakkah anda saksikan bahwa di tempat-tempat yang kurang penduduknya kesempatan kerja adalah sedikit atau tidak ada sama sekali, dan penghasilan rendah sebab sedikitnya kegiatan-kegiatan manusia. Sebaaliknya kota-kota yang kebudayaannya lebih maju penduduknya lebih baik keadaannya dan makmur”.
Dengan demikian Ibn Khaldun menghargai kerja dan dampak ekonomisnya. Selain itu juga menekankan fungsi sosial dan moral kerja. Sebab masyarakat desa, menurut Ibn Khaldun, yang banyak bekerja memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka mempunyai suatu keistimewaan, yaitu moral mereka yang kuat. Sementara masyarakat kota, yang hidup dalam kemewahan, kemalasan, kesantaian, dan ketenggelaman dalam berbagai kelezatan hidup, moral mereka bobrok. Dengan demikian kerja menurut Ibn Khaldun merupakan katup pengaman moral. Sebab ketenggelaman dalam kemewahan tanpa kerja akan mengantarkan pada penyelewengan.
Roger Garaudy, dalam kajiannya tentang Ibn Khaldun, menyatakan bahwa teori nilai Ibn Khaldun didasarkan pada kerja dan ia melakukan hal yang demikian ini sebelum dilakukan seorang ahli ekonomi Eropa pada abab kedelapan belas.
Memang kita tidak dapat menyatakan bahwa teori Ibn Khaldun tentang nilai talah tuntas dan sempurna. Namun kita dapat menyatakan bahwa bilamana pendapat-pendapatnya tentang nilai kita rangkum semuanya, akan dapat membentuk suatu teori ekonomi. Dalam pendapat-pendapatnya ini, seperti yang dikemukakan Muhammad ‘Ali Nasy’at, terkandung unsur-unsur penting yang baru dicapai oleh peneliti ilmiah di bidang ekonomi pada masa jauh setelahnya.
Meskipun kajian-kajian Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah tentang nilai demikian jelas, tetapi ada juga penulis yang menolak kontribusi Ibn Khaldun di bidang penelitian tentang nilai. Misalnya saja Gaston Bouthoul yang menyatakan bahwa dalam karya Ibn Khaldun tersebut tidak terdapat sama sekali pembahasan yang berkenaan dengan apa yang kini disebut dengan ekonomi politik teoretis dan ia tidak sama sekali mengkaji ide nilai. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr. Menurut kami tampaknya pendapat kedua penulis ini dikutip dari pendapat Gaston Bouthoul. Terhadap pendapat yang demikian itu teks-teks al-Muqaddimah merupakan jawaban yang paling tepat baginya. Tepat komentar Muhammad ‘Ali Nasy’at tentang posisi Ibn Khaldun dalam masalah ini: “Ibn Khaldun patut dimasukkan dalam barisan para penulis terbaik tentang masalah-masalah ekonomi, karena pemahamannya yang mendalam atas esensi persoalan-persoalan ekonomi yang paling pelik, di antaranya teori niali”.
Faktor-Faktor Produksi.
Faktor-faktor produksi menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yaitu alam, pekerjaan, dan modal. Namun pendapat-pendapat Ibn Khaldun mengenai ketiga faktor tersebut berserakan dalam al-Muqaddimah. Kajian ini berupaya menghimpun pendapat-pendapat itu.
Pertama-tama, alam merupakan sumberdaya yang membekali manusia berupa materi yang adakalanya dapat dipergunakan secara langsung dan adakalanya pula setelah ia olah. Kata Ibn Khaldun dalam uraiannya tentang dampak alam atas produksi: “Penghidupan ialah mencari dan mendapatkan jalan untuk keperluan hidup… Jalan ini bisa didapat, adakalanya dengan kekerasan terhadap orang lain sesuai dengan hukum kebiasaanya yang berlaku, dan cara ini terkenal dengan nama penetapan pajak atau cukai; atau bisa juga diperoleh dengan menangkap binatang-binatang buas dan membunuhnya di laut atau di darat, suatu jalan penghidupan yang terkenal dengan nama berburu; atau dengan mengambil penghasilan dari binatang jinak yang sudah umum dilakukan orang, seperti susu dari hewan ternak, sutera dari ulat sutera dan madu dari lebah; atau dengan menjaga dan memelihara tanam-tanaman dan pohon-pohonan dengan tujuan dengan mengambil buahnya. Jalan penghidupan ini disebut pertanian. Atau bisa juga diperoleh dari kegiatan manusia, baik yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat tertentu dan terkenal dengan nama pertukangan, seperti menulis, bertukang kayu, menjahit, menenun, naik kuda dan sebagainya; atau yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat yang tidak tertentu, yakni segala macam pelayanan dan perburuhan, jujur, atau tidak jujur; atau keperluan hidup itu mungkin juga diperoleh dengan menyediakan barang-barang untuk ditukar, dengan jalan membawa barang-barang itu ke tempat-tempat lain keseluruh penjuru negeri atau dengan jalan memonopoli pasar bagi barang-barang itu dan menantikan geraknya pasar, dan nilai yang terkenal dengan nama perdagangan”. Dengan demikian alam merupakan azas segala bentuk produksi.
Sedang faktor kedua, yaitu pekerjaan, hal ini telah diuraikan di muka dalam pembahasan tentang teori nilai. Namun di sini perlu ditambahkan bahwa faktor ini merupakan faktor utama yang melebihi kedua faktor lainnya. Faktor pekerjaan mempunyai kelebihan dengan coraknya yang positif. Dan ini merupakan faktor yang selalu ada dalam semua bentuk produksi, malah hasil alam tidak mungkin diperoleh kecuali dengan pekerjaan. Pada masa Ibn Khaldun sendiri pekerjaan mengungguli faktor-faktor produksi lainnya, demikian pula halnya faktor ini terpisah dari modal. Sebab ketika itu pemilik modal juga pekerja.
Ibn Khaldun tidak memisahkan modal dari kerja seperti halnya yang dilakukan para ahli ekonomi dewasa ini. Seperti diketahui pemisahan antara modal dan kerja terjadi akibat dampak revolusi industri dan munculnya kelompok kaum kapitalis. Oleh karena itu tidaklah aneh bila Ibn Khaldun merangkum kedua faktor tersebut. Menurut Sobhi Mahmassani, Ibn Khaldun tidak mengemukakan perlunya modal kecuali dalam kedudukannya sebagai salah satu alat produksi. Atau dengan kata lain dengan kedudukannya sebagai kekayaan dan bersaham dalam produksi di samping faktor pekerjaan dan alam. Ibn Khaldun tidak banyak membahas peran yang mungkin dilakukan para pemilik modal. Malah ia berpendapat bahwa akumulasi harga yang besar akan mendatangkan bahaya atas pemiliknya dari pihak penguasa dan pembesar. Kata Ibn Khaldun dalam sebuah pasal dengan judul “Pemusatan Harta Benda tak Bergerak dan Tanah-Tanah Perkebunan : Keuntungan dan Kejelekannya”: “Pemusatan harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan di tangan perseorangan dari desa atau orang kota tidaklah terjadi dengan seketika, juga tidak dalam suatu keturunan … Tanah perkebunan semacam itu diperoleh sedikit demi sedikit: adakalanya dengan jalan warisan yang mengakibatkan berpusatnya kekayaan dari beberapa nenek-moyang dan saudara di tangan seorang pewaris.. Sebab pada saat-saat jatuhnya suatu dinasti dan bangkitnya suatu kekuasaan baru, tanah-tanah perkebunan kehilangan daya tariknya, karana kurang terjaminnya perlindungan yang dapat diberikan negara dan karena keadaan yang kacau balaun (chaos). Akan tetapi apabila kekuasan baru telah tegak, keamanan dan kemakmuran telah kembali serta negeri telah kuat lagi seperti sedia kala, maka tanah perkebunan itu sekali lagi akan menjadi lebih menarik, karena kegunaannya yang besar dan harganya sekali lagi akan naik … Namun penghasilan dari harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan tidak mencukupi penghidupan pemiliknya karena hidupnya yang penuh kemewahan … Pada umumnya para penguasa dan pembesar merasa tertarik pada tanah-tanah itu atau ingin membelinya dari para pemiliknya pun mendapat malapetaka … “.
Penutup
Dari paparan – paparan di atas, dapat dipahami bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi sesungguhnya sangat brilian yang mencakup berbagai permasalahan ekonomi, baik mikro maupun makro, apalagi pemikiran itu dikemukakannya pada abad 14 ketika Eropa masih terkebelakang. Ibnu Khaldun telah melakukan kajian empiris tentang ekonomi Islam, karena ia menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat dan negara. Dari kajian makalah ini dapat disimpulkan bahwa secara historis, pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi jauh mendahului para sarjana Barat modern. Oleh karena itu, yang pantas disebut sebagai Bapak ekonomi adalah Ibnu Khaldun, bukan Adam Smith.
Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun yang memiliki signifikansi untuk diapresiasi adalah konsep tentang pembentukan peradaban dan negara yang meliputi bagaimana proses kemajuan dan kemundiuran suatu peradaban dan negara serta varibel dan gerakan apa yang harus dilakukan. Menurut Ibnu Khaldun ada lima variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah negara (G). Variabel tersebut adalah syari’ah (S), masyarakat (N), kekayaan (W), pembangunan (D) dan keadilan (J). Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan keruntuhannya. Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang dianggap tetap (cateris paribus) sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini. Karena memang tidak ada variabel yang tetap (konstan) . Satu variabel bisa menjadi pemicu, sedangkan variabel yang lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan menimbulkan dampak mundur, tetapi bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali. Sebaliknya, jika tidak bisa diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu menuju kemunduran.Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk diidentifikasi penyebab dan akibatnya. Variabel pembangunan (D) dan keadilan (J) perlu mendapat perhatian, sebagaimana variabel-variabel lain. Pembangunan merupakan unsur panting dalam masyarakat, tanpa pembangunan masyarakat tidak akan maju dan berkembang. Namun, pembangunan tidak akan berarti tanpa keadilan. Oleh karena itu, perlu konsep distributive justice untuk mewujudkan keadilan pembangunan tersebut.
Negara hanya satu komponen dari beberapa komponen yang ada
maka upaya penegakan Islam dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin di zaman dan wilayah tertentu. Ekonomi yang dilambangkan dengan W juga merupakan salah satu komponen dalam entitas lingkaran di atas.
Kita bisa memulainya dari gerakan pemahaman ekonomi syari’ah (S), pengembangan kajian, sosialisasi dan mempraktekkanya dalam kehidupan ekonomi masyarakat (N). Upaya ini pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran/kesejahteraan (W) masyarakat. Masyarakat yang makmur jelas akan membayar zakat, infaq, sedeqah dan waqaf sebagai upaya mewujudkan keadilan ekonomi (justice).
Ketika masyarakat Islam telah makmur, kaya (sejahtera),maka mereka bisa membangun (development) infra struktur seperti lembaga pendidikan, dan pusat-pusat pelatihan, sarana ibadah, hotel syari’ah, gedung trade centre, sarana industri, jalan dan jembatan ke sektor produksi, dsb. Semua pembangunan ini hendaklah ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (justice) kesejahteraan masyakat. Ketika ekonomi kuat, maka negara /politik (G) pun bisa dikuasai.
Pembangunan (J & D) yang tidak adil mengakibatkan kesejahteraan rakyat yang sejati tidak terwujud, selanjutnya masyarakat menjadi lemah (tidak eksis), masyarakat akan kacau, yang mempengaruhi dan mengganggu pemahaman dan implementasi syari’ah. Ketika syari’ah telah roboh, maka G (daulah/al-mulk) pun runtuh.
Adapun siklus kemajuan peradaban Islam prosesnya adalah berputar seperti arah jarum jam :
• 1. Tanamkan kesadaran syari’ah (S), kemudian
• 2. Kembangkan masyarakat (N) sehingga tercipta masyarakat yang faham
• syari’ah
• 3. Tingkatkan kekayaan (W) mereka
• 4. Laksanakan pembangunan yang adil
• 5. Barulah Tegakkan pemerintahan (G)
Maka jangan menegakkan negara di mana pemahaman syari’ah belum mantap dan ekonomi ummat belum kuat. Upaya Hizbut Tahrir untuk menegakkan khilafah akan mengalami kegagalan, jika pemahaman syari’ah tidak berhasil ditanamakna kepada ummat dan gerakan ekonomi syari’ah tidak jalan. Jadi, dari pemikiran Ibnu Khaldun ini dapat dipahami bahwa upaya penegakan negara tidak bisa secara mendadak dan instant, tetapi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan gerakan yang komprehensif.
Gerakan ekonomi syari’ah yang sedang berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan signifikan untuk membangun (G). Pemahaman syari’ah (S) dan implementasi pembangunan ekonomi ummat akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang makmur (W) berdasarkan syari’ah. Apabila umat telah makmur, mereka dapat melaksanakan pembangunan secara lebih adil. Bila gerakan ekonomi syari’ah ini, baik secara akademis maupun praktek berjalan sukses (progress), maka akan bermuara pada penguasaan negara.
Ummat Islam Indoneisa saat ini sebenarnya mampu menyajikan semua variabel dalam lingkaran keadilan menjadi kekuatan besar. Tetapi sayangnya variabel-variabel itu tidak digerakkan oleh pemerintah (daulah). Pemerintah (G) mulai melupakan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawabnya. Pemerintah gagal mengimplementsikan syari’ah (S) sebagai pedoman dan rujukan ketaatan. Mereka juga lalai dalam menjamin keadilan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan rakyat (N),. Dampaknya pembangunan dan kemakmuran mengalami kemunduran. Inilah yang menjadi pangkal terjadi kemunduran peradaban Islam
Selain pemikirannya yang brilian tentang siklus peradaban, pemikirannya tentang ekonomi dalam berbagai bidang juga perlu dipertimbangan dalam konteks kekinian (keindonesiaan), seperti pemikirannya tentang pajak, perdagangan internasional, moneter dll.
Semua pemikiran Ibnu Khaldun tersebut sangat urgen untuk dipertimbangkan dalam konteks kekinian dalam rangka mewujudkan masyarakat dan negara yang sejahtera. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.