Senin, 18 Januari 2010

Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah Indonesia

Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah Indonesia
Oleh Raimond Flora Lamandasa *)
I. Pendahuluan
Perbankan mempunyai posisi yang strategis sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Lahirnya perbankan syariah di Indonesia diawali dengan adanya lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor pada tanggal 18 – 20 Agustus l990 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lokakarya tersebut menghasilkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa bunga bank hukumnya adalah haram. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 yang hasilnya memberikan amanat untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Dalam ajaran agama Islam terdapat tiga ajaran yang mendasar yaitu tentang Aqidah, syariah dan akhlak. Syariah terbagi dalam dua aspek yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bidang muamalah termasuk didalamnya kegiatan ekonomi islam.
Dalam kegiatan perekonomian Islam didalamnya terkandung nilai-nilai keadilan dan kebebasan bertanggung jawab bagi setiap individu dan masyarakat untuk mengejar kemakmuran baik secara individu maupun kolektif demi terwujudnya kesejahteraan sosial.
Dengan adanya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank akhirnya melahirkan desakan masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam untuk mengupayakan terwujudnya system perbankan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu berdasarkan pada tata aturan yang benar yaitu Al Qur’an dan Al Hadist sehingga sedini mungkin dapat dicegah terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam fatwa MUI lebih lanjut diberikan penjelasan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Dalam Al Qur’an riba diartikan sebagai setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan secara adil seperti melalui transaksi jual beli, sewa menyewa maupun bagi hasil.
Selain substansi masalah riba berkembang pesatnya perbankan syariah di Indonesia dilatar belakangi pula dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang membawa akibat banyaknya bank konvensional mengalami kesulitan likuiditas yang berakibat pada penutupan operasional, sedangkan bank syariah terbukti lebih mampu bertahan karena bank syariah tidak menetapkan system bunga/interest seperti halnya pada bank konvensional melainkan dipakailah system bagi hasil yang menentukan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Instrumen penting yang digunakan oleh perbankan Islam untuk menyediakan pembiayaan adalah musyarakah atau penyertaan modal (equity participation), istilah lain yang digunakan untuk musyarakah adalah syarikah/syirkah, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan partnership, lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation financing atau dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kemitraan, persekutuan atau perkongsian.
Syirkah berarti ikhtilath (percampuran), para fuqaha mendefinisikannya sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Secara sederhana musyarakah dapat diartikan akad kerjasama usaha patungan antara 2 (dua) pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama pada saat membuat akad. Porsi pembagian keuntungan tersebut tidak harus sebanding dengan pangsa pembiayaan masing-masing, tetapi atas dasar perjanjian kedua belah pihak.
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bila musyarakah atau syirkah dilakukan sebagai transaksi perbankan atau oleh lembaga pembiayaan tidak lain merupakan usaha patungan (joint venture) dengan para mitranya terdiri atas bank atau lembaga pembiayaan dan pengusaha (nasabah), sebagai suatu usaha patungan diantara para mitra usaha, dapat pula musyarakah ini dilakukan sebagai suatu modal ventura.
Sungguhpun pada dasarnya mudharabah dapat dikategorikan ke dalam salah satu bentuk syirkah atau musyarakah, namun para cendikiawan fiqih Islam meletakkannya dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum yang tersendiri.
II. Pembahasan
Untuk mengetahui apakah hukum perdata kita mengakomodasi perikatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian islam (akad), maka harus dilakukan tinjauan secara umum terhadap hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perikatan dalam hukum perdata lahir dari Perjanjian dan Undang-undang. Hukum perjanjian diatur dalam buku ke-III KUHPerdata dengan titel perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata perjanjian diartikan ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain, satu orang atau lebih”. Kata mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang lain berarti untuk menciptakan perikatan. Dengan adanya perjanjian maka para pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Pada asasnya akibat hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Kemudian dalam pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak yang membuatnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu;
1. Kesepakatan para pihak;
Perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Dengan demikian berdasarkan pasal 1321 KUHPerdata, ditentukan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
2. Kecakapan bertindak dari para pihak;
Para pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata yang disebut sebagai pihak-pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah; orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampuan.
3. Tentang hal tertentu;
Bahwa perjanjian yang dibuat harus mengenai suatu hal tertentu yang telah disetujui. Menurut Subekti, suatu hal tertentu tersebut adalah untuk mempermudah pengadilan dalam memutuskan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
4. Serta mempunyai kausa yang halal.
Dengan suatu sebab yang halal, perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum, kebiasaan, ketertiban, dan kesusialaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Secara umum, tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Namun demikian, KUHPerdata mengecualikan ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, seperti misalnya; Perjanjian Kredit Bank, akta pendirian suatu Perseroan Terbatas dan sebagainya. Adapula beberapa perjanjian yang baru dapat mengikat hanya dengan penyerahan dari obyek yang diperjanjikan. Namun dalam praktek pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian menginginkan suatu perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalesir oleh Notaris atau dalam bentuk akta notaril, dalam rangka memperkuat kedudukan mereka jika terjadi sengketa.
Adanya ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari perjanjian memang sangat diperlukan sehubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak berarti, bahwa orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang tidak dikenal dalam perjanjian bernama dan yang isinya menyimpang dari perjanjian bernama yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan prinsip ”kebebasan berkontrak”, yang tersimpul dalam pasal 1338 KUHPerdata, tiap-tiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak. Mereka tidak dapat membatalkan atau mengakirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak atau alasan yang dibenarkan Undang-Undang. Para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas diperjanjikan, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undang. Disamping hal tersebut diatas semua persetujuan harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik oleh para pihak. Ketentuan mengenai itikad baik harus diperhatikan untuk melindungi kepentingan debitur dari kesewenang-wenangan kreditur dalam menyalahgunakan penafsiran bunyi perjanjian. Melalui itikad baik, hakim diberi wewenang untuk melakukan intervensi (turut campur) dalam pelaksanaan perjanjian. Jadi pada intinya suatu perjanjian apapun bentuk dan jenisnya asal mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, tetap berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Begitupun perjanjian (akad) yang dibuat berdasrkan prinsip-prinsip syari’ah.
Perikatan Islam menurut bahasa Uqud ( jama’ dari Aqad ) berarti simpulan, perikatan, perjanjian, permufakatan, sedangkan secara harfiah aqad adalah perikatan antara ijab dan Kabul ( serah terima ) menurut bentuk yang disyaratkan agama dan terdapat kerelaan dari kedua belah pihak.
Dari pengertian akad tersebut diatas dapat diindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan Kabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dasar hukum perikatan dalam Islam adalah :
1) Surat An Nisa ayat 29 yang artinya :
Hai orang – orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan curang, kecuali dengan perdagangan yang berlaku dengan sukarela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.
2) Surat Al Maidah Ayat 1 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman! Tepatilah semua janjimu! Dihalalkan bagi kamu binatang ternak untuk dimakan dagingnya, selain dari yang akan dibacakan kepadamu larangannya.Hal itu tidak berarti menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan ibadat haji. Sesungguhnya Allah memerintahkan menurut apa yang dikehendakiNya.
3) Surat Al Isra ayat 34 yang artinya :
Dan janganlah kamu memperlegarkan harta anak yatim, kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya, sampai ia dewasa dan penuhilah janji sebab janji itu akan diminta pertanggung-jawabannya.
4) Surat Ali Imran ayat 76 yang artinya :
Itu tidak benar! Yang benar ialah : Barang siapa yang memenuhi janjinya dan memelihara dirinya dari kejahatan maka Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaqwa itu.
5) Hadist Nabi Muhammad, SAW yang menyatakan “ Muamalah ( perikatan ) orang Islam berada diatas syarat – syarat yang mereka buat “ ( Abu Hurairah, Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Al Hakim )
6) Ijtihat, diatur dalam kitab – kitab fiqih dibidang muamalah yang dikeluarkan oleh para ahli.
Suatu akad dipandang telah terjadi jika telah memenuhi rukun dan syaratnya yaitu ijab dan Kabul, sedangkan syaratnya meliputi syarat sah mengenai obyeknya dan syarat yang menyangkut subyeknya.
1) Syarat obyek akad meliputi :
a. Telah ada pada waktu akad diadakan.
b. Dapat menerima hukum akad.
c. Dapat ditentukan dan diketahui.
d. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
2) Syarat subyek Akad meliputi :
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya. Setiap orang bebas membuat perjanjian tetapi tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Hadist dan apabila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
b. Harus sama ridha dan ada pilihan,hal ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian harus ada kesepakatan para pihak, tidak boleh ada paksaan, kekhilafan maupun penipuan, kalau hal ini dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan.
c. Harus jelas dan terperinci. Dalam sebuah perjanjian harus disebutkan dengan jelas apa yang menjadi obyeknya, siapa saja para pihaknya serta apa saja hak dan kewajibannya.
Perjanjian bagi hasil yang dikenal dengan istilah mudharabah adalah suatu akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak yang lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kesalahan pengelola. Kerugian yang diakibatkan karena kesengajaan dari pengelola maka pengelola harus bertanggung jawab mengganti kerugian tersebut.
Falsafah dasar pembiayaan mudharabah untuk menyatukan modal dengan labour ( Skill dan entrepreneurship ) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional, karena memang sistem tersebut diciptakan untuk menunjang mereka yang memiliki modal, dalam mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan serta keadilan. Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung kerugian yang dialami proyek dan membagikan keuntungan yang membengkak di waktu ekonomi sedang booming.
Bagi hasil dalam perbankan syariah landasan hukum positifnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu :
1) Undang – Undang no 7 tahun l992 kemudian dipertegas dengan Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.
2) Undang – Undang no. 10 tahun 1998 yang membagi secara tegas dua jenis bank yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat.
3) Pasal 11 ayat 1 Undang – Undang no 3 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang – Undanf no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
4) Peraturan Bank Indonesia no 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan acuan dalam pembuatan kontrak-kontrak di Bank Syariah.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil (mudharabah) dalam perbankan Syariah dimaksudkan sebagai perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan nasabah, dimana bank bisa bertindak sebagai pihak yang meminjamkan dana (shahibul maal) sedangkan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib) atau sebaliknya bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) sedangkan nasabah sebagai pemilik dana shahibul maal) dengan menabung di Bank Syariah melalui tabungan mudharabah atau melalui giro mudharabah.
Dalam Peraturan Bank Indonesia no 7/46/PBI/2005 mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Rukun Mudharabah atau unsur- unsur yang harus ada agar akad mudharabah sah adalah sebagai berikut :
1) Adanya pemilik modal dan pelaksanaan usaha.
2) Adanya obyek yang diperjanjikan.
3) Adanya persetujuan dari kedua belah pihak (ijab-kabul).
4) Nisbah keuntungan yang mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh para pihak yang bermudharabah.
Pada umumnya pembiayaan dengan system mudharabah modal yang dipinjamkan oleh bank dalam usaha yang akan dijalankan oleh mudharib tidak diberikan dalam bentuk tunai hal ini dimaksudkan agar pihak bank dapat senantiasa mengawasi dalam pengelolaan usaha tersebut. Dalam akad mudharabah pembelanjaan barang dagangan telah ditentukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembayaran kepada mudharib. Dana yang telah dipinjamkan tidak boleh diselewengkan dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain.
Dalam pengelolaan manajemen, bank menyerahkan pengoperasionalan usaha kepada pihak debitur (mudharib) dengan jalan debitur harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak.
Manfaat yang dapat diperoleh dari akad mudharabah adalah :
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap tetapi disesuaikan dengan pendapatan hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow (arus kas usaha nasabah).
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal dan aman serta menguntungkan.
5) Prinsip bagi hasil berbeda dengan bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah maupun bila nasabah menderita kerugian.
Disamping manfaat yang diperoleh bank syariah dari adanya akad mudharabah terdapat pula beberapa kerugian atau resiko yaitu side streaming yaitu penyalahgunaan penggunaan modal oleh nasabah, terjadi kelalaian dan kesalahan yang disengaja, penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Selain dari pembiayaan mudharabah dikenal pula system pembiayaan musyarakah yang artinya akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Pelaksanaan akad musyarakah dalam perbankan syariah adalah :
1) Pembiayaan Proyek, dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek. Setelah selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut beserta bagi hasil yang telah disepakati.
2) Modal ventura, penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual sahamnya baik secara langsung maupun bertahap.
Peranan notaris dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah pada Bank Syariah adalah berkaitan langsung dengan kewenangannya dalam pembuatan akta otentik yang diperlukan dalam kerja sama tersebut.
Perjanjian – perjanjian yang dibuat antara bank syariah dengan nasabah untuk lebih mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi kedua belah pihak biasanya para pihak menghendaki dituangkan dalam bentuk akta notariil, sehingga seorang notarispun dituntut untuk membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang produk – produk bank syariah karena ada karakteristik yang berbeda antara bank syariah dengan bank konvensional. Dalam pendirian kantor bank syariahpun diperlukan peran notaris karena dalam pendirian suatu badan hukum harus dituangkan dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.
III. Penutup
Lahirnya bank syariah di Indonesia diawali dengan adanya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank. Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menghendaki didirikan lembaga perbankan syariah yang mendasarkan diri pada ketentuan Al Qur’an, Al Hadist dan ijtihad para ahli. Perkembangan bank syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat karena direspon oleh pemerintah dengan diundangkannya beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum positif bagi berdirinya bank syariah di Indonesia.
Aturan hukum positif kita dalam bidang hukum perdata mengenai perikatan, memungkinkan Pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah yang disesuaikan dengan tuntunan yang ada dalam Al Qur’an dan Al Hadist serta ijtihad para ahli.
Peran notaris dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah terkait erat dengan kewenangannya sebagai salah satu pejabat publik yang berwenang membuat akta otentik.

*) Makalah penulis dalam mata kuliah Hukum Perbankan Syariah pada program magister kenotariatan UGM-Yogyakarta.

Ekonomi Islam dan Pasar Bebas

Oleh : Suwardi*
Pembentukan blok perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) telah menjadi fenmena dunia yang tidak terelakkan. Sebagai satu kmunitas yang dinamis, ASEAN (Association South of Asean Nation) pun tergerak untuk membentuk blok kerjasama FTA. Salah satu blok perdagangan bebas terpenting yang akan dijalankan ASEAN pada I Januari 2010 mendatang, antara ASEAN dengan Tiongkok.
Menyepakati blok perdagangan bebas adalah pilihan yang paling rasional bagi kedua belah pihak. Bagi ASEAN, Tiongkok adalah fenmena mencengangkan abad ini. Tehun ini, Tiongkok menggeser kekuatan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor dua dunia. Hal ini terjadi hanya dua tahun setelah Tiongkok melampaui jerman sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga dunia.
Namun, dibalik manfaat yang akan diterima oleh negara-negara ASEAN sebagian kalangan masih enggan untuk menerima sistem perdagangan bebas yang segera dilaksanakan beberapa hari mendatang. Dan apa sebenarnya yang menjadi permasalahan tersebut? Dan bagaiamana Islam memandang sistem perdagangan bebas yang menjadi salah satu mainstream ekonomi kapitalis?

Mekanisme Pasar Bebas
Pasar bebas yaitu pasar sistem di mana setiap rang dibiarkan memilih pekerjaan sendiri sesuai keinginannya dan setiap rang dibiarkan menggunakan pengetahuan dan ketermapilannya untuk mencapai tujuan masing-masing. Tokoh peletak dasar konsep ini adalah Adam Smith yang lahir di Kirkcaldy, pada tanggal 5 Juni 1723 di kota kecil dekat Edinburg, Skonlandia.
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah ketika melakukan kegiatan ekonomi, seseorang berbuat untuk kepentingan diri sendiri bukan orang lain. Dalam konsep kebebasan ini terkandung makna keadilan komutatif yang menampilkan diri sebagai penghargaan atas perdagangan bebas sebagai mekanisme alamiah yang menyelaraskan perilaku manusia. Dalam knteks ini, keadilan komutatif lebih mempunyai makna sebagai tidak mencampuri kepentingan dan urursan orang lain. Dalam keadilan ini pula berlaku prinsip laissez-faire.
Smith sangat mendukung prinsip (motto) laissez faire yang menghendaki campur tangan pemerinah seminimal mungkin dalam pereknomian. Karena jika banyak campur tangan pemerintah, akan terjadi banyak distorsi, yang akan membawa perekonomian pada tersebut pada inefficincy dan inekuilibrium.
Titik tolak dari teori (laissez-faire) ini adalah anggapan setiap pelaku dalam perekonomian bertindak secara rasional dan ekonomis. Teori ini mendasarkan pada dua asumsi yakni pertama, setiap pelaku ekonomi mengetahui setiap kejadian di pasar dari waktu ke waktu. Kedua, mereka mempunyai mobilitas tinggi sehingga dengan mdah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
Menurut para ahli, yang mendukung teri laissez-faire ini, apabila pemerintah tidak menjalankan campurtangan dalam kegiatan perekonomian itu artinya segala sesuatunya ditentukan oleh mekanisme pasar, maka perekonomian akan berkembang optimal dan selalu tercapai tingkat kesempatan kerja penuh. Akhirnya akan menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang maksimal. Akan tetapi konsep laissez-faire yang diusung oleh Smith tidaklah berjalan mulus.

Kerapuhan Laissez-faire
Teori ini mulai diragukan ketika Perang Dunia I berakhir. Ketika itu negara-negara Eropa menghadapi masalah politik, sosial dan ekonomi yang rumit, sehingga perekonomian pun menjadi tidak satabil. Terjadi tingkat pengangguran yang tingga sehingga alat-alat produksi tidak dapat digunakan secara optimal. Puncaknya adalah ketika terjadi depresi, seperti depresi di akhir abad ke 19, Depresi Besar di tahun 1930, resesi di tahun 1970-an, 1990-an.
Menurut para pendukung pasar bebas, semua kejadian tersebut sebenarnya lumrah karena disebabkan oleh perputaran bisnis yang berulang (cyclical business cycle). ekonom Austria Joseph Schumpeter menerangkan bahwa perputaran bisnis Juglar memerlukan 4 tahapan: 1) ekspansi (peningkatan produksi), 2) krisis (ambruknya pasar, 3) resesi (jatuhnya harga, tingginya suku bunga), 4). Kebangkitan.
Maka, para pendukung pasar bebas menyatakan bahwa terjadinya perubahan waktu dan sifat alami dari semua aktifitas ekonomi yang harus melalui berbagai fase. Karenanya, setiap terjadi keambrukan, kelesuan, dan resesi para pendukung pasar bebas menyalahkan alam yang telah menciptakan kondisi terjadinya perputaran bisnis (business cycle).
Sehingga orangpun mulai tidak percaya terhadap konsep laissez-faire ini, yang harus membebaskan sistem pasar dari campur tangan pemerintah. Sejak saat itu berkembanglah teori ekonomi yang lebih mencerminkan keadaan masyarakat yang sebenarnya, yang dipelopori oleh Keynes melalui bukunya :The General Thery of Employment, Interest and Money.

Konsep Islam
Menurut sistem ekonomi kapitalis, yang menghendaki tidak adanya peran negara dalam perdagangan (laissez-faire). Sehingga pasar dapat berjalan sebagaimana adanya, tanpa harus ada kendali dari pemerintah.
Islam memandang bahwa tanggung jawab pemerintah bukan terbatas pada keamanan dalam negeri dan sistem keamanan yang mempnyai kekuatan antisipatif dari serangan luar, tapi tanggung jawab pemerintah ini harus menjadi bagian dari prgram menuju masyarakat ideal.
Mekanisme pasar, regulasi dan moral harus ada dalam satu kesatuan pemikiran. Dengan hanya moral, boleh jadi belum mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan masyarakat. Oleh karena peran efektif dari negara sebagai mitra, katalisatr dan fasilitatr, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan yang susungguhnya.
Perhatian pada pentingnya peran negara telah dicerminkan oleh tulisan ulama-ulama terkemuka sepanjang sejarah. Al-Mawardi misalnya, telah menyatakan bahwa keberadaan pemerintah yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah kezaliman dan pelanggaran. Sedangakan Ibnu Taymiyah pun menekankan Islam dan negara mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Proses implementasi syariah tidak akan mungkin tanpa adanya negara yang memainkan peranan penting dan negara mungkin akan terpuruk dalam pemerintahan yang tidak adil. Demikian pula Baqr al-Sadr mengatakan bahwasanya intevensi pemerinah dalam ruang lingkp kehidupan ekonomi adalah penting dalam menjamin keselarasan dengan norma-norma Islam.
Seluruh usaha negara untuk menjamin kesejahteraan, keadilan dan aturan main yang adil dalam seluruh aktivitas kehidupan dicerminkan dalam institusi hisbah. Institusi hisbah ini tidak hanya memungkinkan pasar berperasi secara bebas dan membuat harga, serta keuntungan ditentukan oleh kekuatan supply dan demand, tetapi pada saat yang sama juga menjamin semua pranata ekonomi telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan telah mematuhi aturan syariat.
Dengan demikian negara tidak perlu ragu-ragu untuk mengintervensi manakala ambang pintu keadilan terlewati dan tidak ada lagi justifikasi untuk menunggu kekuatan pasar memperbaiki pelanggaran tersebut dengan sendirinya. Namun perlu disadari intervensi itu sendiri tidak bleh semena-mena, karena jika itu terjadi, pada akhirnya juga akan menimbulkan ketidakadilan. Wallahu a’lam

* Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam Tingkat Akhir Fakultas Syariah IAIN STS Jambi. Dan kini menjabat sebagai Wakil Direktur dan Peneliti pada FISTaC (Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)

MASA DEPAN PERTUMBUHAN UMKM 2010

Rasa optimistis tumbuh setelah membaca analisis Fokus Global bulanan Standard Chartered Bank yang dipublikasikan bulan ini. Dalam laporan itu disebutkan bahwa 2010 akan menjadi tahun pemulihan ekonomi global. Indonesia, bersama China dan India, merupakan tiga negara yang berada di garis depan proses pemulihan krisis karena mempunyai kekuatan ekonomi domestik yang tinggi.

Tahun 2010, ekonomi China dan India diperkirakan akan tumbuh 10% dan 7,5%, sedangkan ekonomi Indonesia diprediksi akan mencapai 5,3% (analisis ekonomi BNI).Tentunya optimisme itu mutlak harus diiringi dengan kerja keras dan kerja cerdas. Tantangan kita sekarang adalah menumbuhkan produktivitas sektor riil semaksimal mungkin sehingga bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Pemerintah harus lebih banyak menelurkan program-program yang mendorong kemudahan berbisnis (doing business) dan kemudahan memulai bisnis baru (starting business). Dalam hal ini, pemerintah telah meraih satu prestasi dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Percepatan Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan, yang ditandatangani empat menteri (Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM) dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 16 Desember 2009.

SKB itu mengatur dua hal, yaitu percepatan proses pembuatan izin membuka usaha baru dari sebelumnya 60 hari kerja menjadi 17 hari kerja, dan dimulainya sistem pelayanan izin usaha satu atap secara elektronik yang akan memangkas 70 jenis perizinan. Kebijakan itu tentu membawa angin segar bagi investor, pengusaha dan calon pengusaha terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Seperti sudah kita ketahui, sejauh ini perkembangan usaha khususnya UMKM di Indonesia masih terseok-seok.

Padahal UMKM telah terbukti dua kali menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi, yaitu pada 1998 dan 2008. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar kepada UMKM dan calon pengusaha UMKM pada 2010. Hal itu telah dijanjikan oleh Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Syariefuddin Hasan saat membuka Pembekalan Calon Wirausaha Muda bagi 1.000 Sarjana di Jakarta, 10 Desember 2009. Menurut Syarief, Menkop & UKM akan menyediakan dana untuk modal usaha yang dihimpun dari berbagai bank dan lembaga pembiayaan.

Dengan demikian diharapkan, akan tumbuh pengusaha-pengusaha muda UMKM dan koperasi di tahun mendatang. Para pengusaha ini diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran yang masih tinggi. Patut kita sadari bahwa Indonesia perlu meningkatkan jumlah wirausahawan untuk mencapai predikat sebagai 'bangsa yang mandiri'. Menurut beberapa penelitian, salah satu syarat bangsa yang mandiri adalah mempunyai jumlah pengusaha (entrepreneur) sebanyak minimal 2% dari total jumlah penduduk.

Jadi jika jumlah penduduk Indonesia sekarang mencapai 250 juta orang, minimal jumlah pengusaha harus 5 juta orang. Kenyataannya, jumlah pengusaha kita baru mencapai 0,18% atau hanya sekitar 450 ribu orang.
Kesimpulannya, menurut teori ini, dibutuhkan sekitar 4,5 juta pengusaha lagi agar Indonesia bisa disebut sebagai bangsa mandiri. Hal inilah yang mendorong beberapa pengusaha besar seperti Ciputra untuk mendirikan sekolah khusus kewirausahaan bagi para pemuda Indonesia.

Pemerintah pun telah mengambil tindakan dengan berencana memasukkan kewirausahaan (entrepreneurship) dalam kurikulum sekolah mulai 2010. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan penyusunan konsep kurikulum ini merupakan bagian dari program 100 hari pemerintah di Kementerian Pendidikan Nasional.
Konsep itu diharapkan rampung pada Februari 2010 dan akan diterapkan pada tahun ajaran baru pertengahan 2010 nanti. Penumbuhan jiwa kewirausahaan di sekolah terutama di perguruan tinggi akan mempunyai dampak strategis dalam jangka panjang dalam mengatasi banyaknya sarjana yang menganggur di Indonesia.
Padahal, kampus universitas adalah gudang inovasi dan kreativitas. Setiap tahun universitas meluluskan ribuan wisudawan yang menyelesaikan tugas akhir skripsi, tesis, atau disertasi di berbagai bidang ilmu.
Beberapa di antara karya tersebut sangat mungkin merupakan inovasi yang baru dan mutakhir. Andai saja hasil karya ilmiah mereka ditindaklanjuti dengan analisis ekonomi/kelayakan usaha dan hak cipta, bayangkan berapa besar potensi bisnis baru yang bisa tumbuh dari situ.

Dalam Global Entrepreneurs Week di Jakarta, November 2009, ada satu ide menarik yang mengemuka terkait upaya menumbuhkan jiwa wirausaha baru, yaitu dengan menggalakkan kewirausahaan berbasis komunitas. Caranya dengan menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam kelompok.

UMKM yang sudah sukses diharapkan akan membantu melahirkan wirausaha baru di komunitasnya. Sebagai contoh di Pekalongan terdapat sentra UMKM batik. Dibentuklah komunitas perajin batik yang dibina oleh salah satu UMKM yang sudah sukses.
Nantinya diharapkan dari para perajin itu akan muncul UMKM-UMKM baru yang siap mandiri. Sayangnya banyak UMKM yang sudah sukses khawatir atau takut UMKM baru itu akan menjadi pesaing bisnis. Hal semacam itu harus diluruskan karena pola itu justru menguntungkan.

Komunitas bisnis bisa membuat program joint buying, joint production, dan joint marketing/selling yang justru akan menghemat biaya produksi, memperluas kapasitas produksi, dan sekaligus menaikkan daya saing. Pola itu sangat cocok digunakan untuk industri kreatif yang sedang digalakkan pemerintah.

Perkembangan industri kreatif, yang banyak dimotori oleh kaum muda, diyakini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja. Indonesia memiliki sumber daya yang sangat kreatif.
Kita bisa melihat bahwa tidak ada suatu produk kreatif (seperti kerajinan tangan) yang tidak bisa dibuat oleh perajin kita. Contohnya, jika Anda pernah ke daerah Cipacing di perbatasan Cileunyi, Bandung, Anda akan bertemu dengan masyarakat perajin yang bisa membuat segala macam barang dengan hanya melihat gambar atau contoh.

Kemampuan dan kreativitas itu harus terus dipupuk dan jangan sampai pudar. Kemampuan seperti itulah yang membuat UMKM Indonesia mampu bangkit dengan cepat saat krisis 1998. Diperkirakan, pasar dan sumber daya manusia kreatif di Indonesia mencapai 47% dari total jumlah penduduk.

Dengan sumber daya sebesar itu, industri kreatif Indonesia akan mampu membuka 5,4 juta lapangan kerja dan berkontribusi sebesar 6,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika pada 2008 PDB kita sebesar Rp4.954 triliun, industri kreatif bisa berkontribusi sebesar Rp312 triliun.
Namun sekali lagi, angka-angka itu tidak akan menjadi kenyataan tanpa langkah nyata yang riil, terukur, dan sinergis. Saat ini kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Laju pertumbuhan UMKM terhambat oleh kelayakan infrastruktur dan energi yang terbatas.

Merancang pertumbuhan usaha di tengah krisis listrik membutuhkan upaya ekstra keras. Tanpa pasokan listrik yang memadai, harapan menumbuhkan UMKM dalam lima tahun ke depan bagaikan mimpi di siang bolong.

Berbagai solusi kreatif memang mulai bermunculan, seperti pemanfaatan potensi energi lokal seperti air, angin, dan biogas terutama untuk memasok kebutuhan energi UMKM. Solusi kreatif ini pun perlu dibuat standar teknisnya dan disosialisasikan secara terpadu kepada masyarakat UMKM.

Bentuk edukasi praktis seperti inilah yang dirasakan masih kurang. Saat ini baru beberapa lembaga seperti Pusat Inovasi UMKM yang pernah menyelenggarakan bentuk edukasi seperti ini. Tentunya di tahun-tahun mendatang program pelatihan dan sosialisasi dari pemerintah perlu ditingkatkan. Program ini diharapkan mempunyai dua tujuan, yaitu menjaga motivasi kewirausahaan dan memberikan solusi-solusi praktis dan teknis terutama dalam pengembangan produk.

Bank Syariah dan Pertanian Jambi

Oleh: Suwardi*
Sektor pertanian merupakan mata pencarian andalan masyarakat Propinsi Jambi, dari 1.171.869 orang tenaga kerja, maka yang bekerja pada sektor pertanian tercatat sebesar 688.429 orang. Sedangkan kontribusi PDRB sektor pertanian tahun 2008 sebesar Rp. 9,446 triliun dari Rp.39,665 triliun PDRB Provinsi Jambi atau 23,81%. Bila dilihat kontribusi sektor pertanian dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat, maka pendapatan perkapita para petani, perkebunan, peternakan dan nelayan masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan tenaga kerja sektor lain.
Assimetric antara input dan output ini mengindikasikan satu hal, sektor pertanian menghadapi masalah serius sehingga laju gerak perkembangannya lambat. Hal ini disebabkan, pertama, keterbatasan modal petani. Masalah permodalan ini disebabkan akses pembiayaan yang tidak dimiliki oleh petani. Kesulitan akses pembiayaan itu disebabkan oleh ketidakmampuan petani menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan operasi bank, sementara para petani rata-rata hidup di pedesaan, kondisi pertanian yang besifat long-term berhadapan dengan kebutuhan perbankan yang short term untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.
Kedua, SDM yang rendah. Rata-rata para petani mengenyam pendidikan hanya sampai pada level yang sangat rendah. Implikasinya, pengelolaan pertanian berjalan tidak optimal, sulit mendapat akses pembiayaan karena terbatasnya pengetahuan untuk membuat cash flow usaha, rendahnya daya saing hasil pertanian karena terbatasnya sarana dan peran teknologi yang digunakan. Ketiga, Stigma negative dan persepsi bahwa sektor pertanian berisiko tinggi, bergantung pada musim, ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya.
Saat ini keberpihakan bank nasional terhadap sektor pertanian sangat rendah. Berdasarkan data BI (secara nasional), penyaluran kredit bank nasional per maret tahun 2007, hanya 5.4 persen dari total kredit sebesar 800, 373 miliar. Selebihnya, kredit didominasi oleh sektor jasa sebesar 37.21 persen, sektor perindustrian 22.93 persen, perdagangan 20.93 persen.
Penyebab rendahnya penyaluran kredit ini, menurut penulis disebabkan oleh beberapa factor, pertama, sukar ditepis. Sektor pertanian sangat bergantung pada musim. Kedua, harga komoditi hasil pertanian tidak stabil (naik-turun). Ketiga, dalam menilai kredit, menurut Prof Dr Bambang Riyanto (2001). bank harus mempertimbangkan returns, yakni bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan bakal menghasilkan. Minimal menutup biaya dana yang telah dikeluarkan. Repayment capacity, yakni bank wajib menghitung dan menetapkan kemampuan nasabah dalam membayar angsuran per bulan. Dan Risk-bearing ability, bank juga harus menilai apakah nasabahnya memiliki kemampuan cukup untuk menanggung risiko kegagalan. Keempat, selama ini sebagian dana perbankan berjangka pendek (short term funding). Sebaliknya, kredit pertanian sebagian besar relatif berjangka panjang (long term loan). Akibatnya, terjadilah ketidaksesuaian dalam waktu (mismatch) antara pendanaan dan kredit. Ini tidak sehat bagi bank.
Kenapa Bank Syariah?
Bank syariah dipilih untuk menangani sector pertanian dikarenakan Perbangkan syariah mempertimbangkan keseimbangan sektor moneter dan sektor riil, dan memiliki karakteristik shared prosperity system sehingga keseimbangan antrara dua sektor tersebut bukan lagi menjadi masalah, akan tetapi yang menjadi tugas adalah bagaimana cara mendorong pertumbuhan sektor riil.
Kemudian kemampuan perbankan syariah menghimpun dana cukup signifikan dari sekitar kurang lebih 500 milyar rupiah pada 1997 menjadi kurang lebih 6 triliun rupiah pada 2003. Kemampuan menghimpun dana inilah yang menjadi jaminan pendanaan sektor riil. Financing to Deposit Ratio (FDR) perbangkan syariah lebih dari 100% yang berati kemempuan menyalurkan Dana Pihak Ketiga sangat tinggi, atau seluruh dana yang terkumpul dapat disalurkan melalui produk-produk pembiayaan bank syariah. Sedangkan FDR bank konvensional yang hanya sekitar 50% - 60% saja.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor riil yang berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi domestik dan ketahanan pangan nasional. Dari sinilah, peran perbankan syariah sangat diharapkan dalam menggerakkan geliat sektor pertanian di Jambi. Hal ini disebabkan beberapa factor, pertama, masyarakat petani yang selama ini sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil-seperti parohan, gaduhan, dan sebagainya memudahkan bank syariah untuk masuk ke jantung sektor pertanian, yang merupakan filosofis bank syariah itu sendiri.
Kedua, sistem syariah sebenarnya lebih sesuai dengan karakter petani dan pertanian di Indonesia dibandingkan dengan sistem bunga. Pada sistem syariah, yang dituntut adalah kemampuan petani untuk memproduksi hasil pertanian. Misalnya pada skema pembiayaan bai’ as salam, di mana petani mendapatkan modal untuk berproduksi sesuai biaya aktual yang dibutuhkan dan mendapat keuntungan dengan persentase tertentu. Sehingga petani menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah disepakati kepada pemberi modal (dalam hal ini adalah bank syariah). Bank syariah dapat menunjuk suatu lembaga untuk memasarkan produk pertanian tersebut. Ketiga , bank syariah lebih menitikberatkan pada investasi di sektor riil, dan sektor pertanian adalah bagian dari sektor riil itu.
Untuk mewujudkan peranan perbankan syariah yang kuat diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat mendukung sektor pertanian dalam perekonomian Propinsi Jambi. Pertama, Menjadikan usaha pertanian sebagai target pembiayaan utama, minimal 10% dari total pembiayaan. Pembiayaan ini dapat dilakukan secara direct maupun indirect. Direct yakni dengan menyalurkan secara langsung kepada para kelompok usaha tani yang membutuhkan modal di atas 50 juta. Adapun Indirect dengan memberikan pembiayaan melalui lembaga keuangan mikro syariah. Pembiayaan model ini ditujukan untuk membiayai usaha-usaha kecil dibawah 50 juta.
Kedua, karena masalah utama sektor pertanian tidak hanya modal tapi juga ketrampilan kerja dan manajemen para petani yang sangat lemah, maka untuk mengatasi hal tersebut, bank syariah sejatinya tidak hanya memberikan modal kerja, tapi juga memberikan pelatihan dan penyuluhan bagi para petani. Pelatihan ini tidak terbatas pada bagaimana cara bertani yang baik dan efisien, serta menghasilkan produk unggulan, namun perlu juga pelatihan dalam cara mengelola dan memasarkan hasil pertanian dengan lebih baik dalam rangka meningkatkan daya saing hasil pertanian. Sehingga dalam pemberdayaan ekonomi pertanian memperoleh hasil yang maksimal guna mencapai kesejahteraan petani dan masyarakat Jambi umumnya.
Ketiga, Peningkatan layanan bank kepada sektor pertanian dengan cara memperluas jaringan melalui kerjasama dengan berbagai instansi-instansi keuangan mikro. Kerjasama pembiayaan berbentuk linkage program dengan lembaga keuangan mikro syariah, seperti BMT, BPRS, dan pegadaian serta koperasi syariah. Sehingga terjalin sinergisitas antara lembaga keuangan (Perbankan) syariah dengan lembaga keuangan mikro syariah. Perluasan jaringan juga bisa dilakukan dengan Office Channelling. Optimalisasi peran office channelling diharapkan mampu mengatasi keterbatasan jaringan dan infrastruktur perbankan syariah sehingga akses para petani terhadap bank syariah bisa terpenuhi.
Keempat, Mengembangkan produk Muzaraah sebagai salah satu instrument dalam pembiayaan sektor pertanian. Ini karena akad muzaraah sangat mungkin untuk dilakukan inovasi sebagai model pembiayaan yang applicable. Bahkan menurut sebagian ulama fikih kontemporer akad muzaraah bisa dikembangkan menjadi 70 macam model pembiayaan pada sektor pertanian, dan itu semuanya di perbolehkan dalam pandangan syariat.
Jika perbankan syariah dapat memainkan peranannya dengan optimal, bukan mustahil suatu saat sektor pertanian akan menjadi tulang punggung perekonomian Jambi. Dan juga dapat mensejahterakan rakyat Jambi yang berjumlah 2.568.548 jiwa. (sensus tahun 2003). Wallahu a’lam
* Wakil Direktur / Peneliti Ekonomi, Sosial dan Budaya pada FISTaC (Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)

Mencandera Perbankan Syariah Jambi 2010

Oleh : Suwardi*

Kehadiran perbankan Syariah merupakan bentuk perjuangan umat Islam Indonesia dalam pemikiran ekonomi (fiqrah al-iqtishadiyah) yang menginginkan lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam. Realitas hari ini memperlihatkan bahwa sistem perekonomian dunia dikuasi oleh pemikiran ekonomi Jahiliyah (fiqrah al-iqtishadiyah al-jahiliyah), yang berorientasi dan berbasis pada sistem bunga “ribawi”.
Dengan adanya praktik dalam bentuk kelembagaan seperti Perbankan Syariah saat ini, merupakan wujud tindakan dalam mengembalikan (ruju’ wal ‘audah) tatanan perekonomian dari fiqrah al-iqtishadiyah al-ribawiyah menuju tatanan ekonomi fiqrah al-iqtishadiyah al-Islamiah. Hal ini dikarenakan fiqrah al-iqtishadiyah al-ribaawiyah menurut Imam al-Jashash telah dihapuskan semenjak Islam datang.
Keberadaan perbankan Syariah pada hari ini masih sangat belia, dibandingkan dengan usia Pebankan Konvensional. Sehingga wajar, jika masyarakat masih terbiasa dengan praktik ribawi yang dilaksanakan oleh Perbankan Konvensional.
Namun, pada kenyataannya lembaga keuangan Syariah seperti Pebankan Syariah dan BMT serta BPRS lebih tahan terhadap badai krisis yang melanda negeri ini. Sehingga prospek terhadap perkembangan dan prestasi Perbankan Syariah ke depan tidak bisa di pandang sebelah mata. Sebab, sejarah membuktikan, pada krisis ekonomi 98, banyak lembaga keuangan Konvensional yang jatuh (collaps), sebaliknya lembaga keuangan Syariah masih tetap berdiri kokoh bahkan terbebas dari negative spread. Begitu juga dengan krisis global tahun lalu (2008). Perbankan syariah masih mampu menunjukkan daya tahannya terhadap masalah krisis tersebut. Prestasi yang demikian juga dialami oleh Perbankan Syariah Jambi.
Perkembangan industri Perbankan Syariah ini semakin memperlihatkan keunggulannya dan memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Terlebih lagi dengan dukungan pertumbuhan industri perbankan syariah rata-rata 60% dalam kurun waktu 6 tahun terakhir.
Penyebaran kantor Perbankan Syariah saat ini mengalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006, jumlah jaringan kantor hanya 456 buah, kini jumlah tersebut menjadi 1440 buah (Data BI pada Oktober 2008).
Kondisi dan pekembangan Perbankan Syariah di Indonesia diprediksi akan terus maju, dan menjadikan Perbankan Syariah sebagai salah satu instrumen keuangan yang cukup menjanjikan di masa depan. Pertumbuhan tersebut tidak hanya terjadi dalam skala nasional saja, namun juga dalam tataran lokal (wilayah Jambi). Hal tersebut didasarkan oleh beberapa faktor pendukung terhadap perkembangan Perbankan Syariah Jambi pada 2010 mendatang, diantaranya adalah regulasi keuangan Syariah, Komposisi Masyarakat Islam dan Berdirinya Lembaga Keislaman yang kian marak di Jambi.

Regulasi
Kehadiran UU No. 21 tahun 2008 yang telah disahkan DPR tahun lalu membawa angin segar bagi industri Perbankan Syariah. Beberapa kalangan memprediksi UU ini akan melahirkan jangkauan akselerasi perkembangan Perbankan Syariah. Optimisme ini didukung oleh realitas sejarah, yakni Kehadiran Bank Muamallat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) pada tahun 1992 merupakan hasil dari produk Undang-undang No.7/1992. Selanjutnya perkembangan perbankan Syariah yang begitu pesat pada tahun 1999 yang ditandai dengan adanya 2 Bank Umum Syariah (BMI dan BSM) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) 40 kantor dan 78 BPRS merupakan hasil dari ldukungan regulasi yaitu UU No.10/1998 dan UU No.23/1999 yang kemudian diperkuat oleh UU No.3/2004. Saat ini, Bank Syariah telah memiliki empat BUS (BMI, BSM, BSMI dan BRI), 28 Unit Usaha Syariah dan 128 BPRS (Data November 2008).
Regulasi (payung hukum) tersebut dapat menjadi bentuk optimisme perkembangan Perbankan Syariah, pada 2010 mendatang. Walau bentuk pesimisme boleh saja hinggap dalam benak kita, namun dengan berkaca pada perjalanan panjang di atas setidaknya payung hukum (UU No. 21 tahun 2008) ini secara fantastis akan menstimulus terjaadinya acceleration quantum Bank Syariah (2010) mendatang.
Beberapa Pasal dalam UU tersebut akan memperkuat tesis tersebut. Dalam pasal 68 ayat 1 diatur, bahwasanya Bank Konvensional yang memiliki UUS dengan nilai asset mencapai minimal 50% dari total asset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka bank konvensional tersebut harus melakukan spin-off UUS menjadi BUS.

Komposisi Masyarakat Islam
Komposisi masyarakat Islam yang mayoritas di Jambi, merupakan pangsa pasar yang sangat potensial. Bahkan perlu juga merebut floating market dari kelompok tersebut. Apabila ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh lembaga Perbankan Syariah di Jambi, bukan tidak mungkin pertumbuhan Perbankan Syariah akan mencapai dua kali lipat dari target sebelumnya. Akan tetapi, bukan diartikan menafikkan nasabah non-Muslim, bahkan hal itu harus menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola Perbankan Syariah Jambi.

Institusi Keislaman
Kesadaran beragama yang tinggi oleh masyarakat Jambi kian marak yang dapat kita lihat dalam aktivitas sosial yang makin menggeliat. Hal ini ditandai dengan kehadiran majelis ta’lim yang kian bertambah dan bentuk-bentuk pengajian lainnya. Selain itu keberadaan lembaga perguruan tinggi Islam (IAIN STS Jambi) dan beberapa perguruan tinggi umum (UNJA dan STIKBA BAITURRAHIM) yang membuka jurusan atau program studi Ekonomi Islam, hal ini merupakan saham berharga dalam upaya mencetak kader-kader potensial dan mujahid Ekonomi Islam di Jambi.
Tidak hanya itu, kehadiran kelompok-kelompok kajian ekonomi Islam yang digagas oleh beberapa Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu di Jambi juga merupakan asset dan jalan mulus dalam mengkampanyekan Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah di Jambi. Selain faktor pendukung tersebut, pengembangan Perbankan Syariah di Jambi juga tidak terlepas dari beberapa kendala. Diantaranya:
Pertama, SDM. Sumber Daya Manusia sebagai ujung tombak pembangunan terhadap perkembangan Perbankan Syariah pada hari ini, masih banyak dihuni oleh SDM yang berlatar belakang pendidikan ekonomi konvensional dan minim pemahaman fiqh Muamallah dalam aplikasi. Sehingga ke depannya Perbankan Syariah harus merekrut SDM yang menguasi legal aspect, risk management of islamic banking, dan pemahaman Fiqh Muamallah dalam konsep maupun praktis. Hal ini dapat terwujud jika Perbankan Syariah Jambi membuka kerjasama dengan Perguruan Tinggi yang membuka Prodi Ekonomi Islam, terutama IAIN sebagai Lembaga pendidikan Tinggi tertua dalam mengajarkan Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah di Jambi.
Kedua, sinisme masyarakat. Memang sulit untuk mengelak dari realitas yang ada saat ini. Yakni masih adanya anggapan bahwasanya Perbankan Syariah merupakan institusi keuangan milik umat Islam bukan untuk kelompok lain. Kemudian juga adanya anggapan jika sistem bagi hasil kurang menguntungkan bagi dunia bisnis. Oleh karena itu Bank Syariah di Jambi harus tanggap terhadap problem yang demikian, dan segera mencari solusinya, serta yang terpenting adalah dapat menampilkan diri sebagai sosok syariah yang profesional. Memperkenalkan diri dengan cara yang simpatik dan memikat.
Ala kulli hal, perjalanan bank syariah di Jambi masih penjang dan berliku. Keberadaan UU Perbankan Syariah (UU No. 21 tahun 2008) tidaklah cukup membuat fundamental bank syariah kuat dan berkembang. Namun juga dibutuhkan dukungan dari Pemerintah Daerah melalui Perda (Peraturan Daerah) yang dapat mendukung percepatan pertumbuhan Perbankan Syariah di Jambi. Kekuatan SDM adalah kunci dari arah dan masa depan bank Syariah di Jambi di masa mendatang. Saat ini bank syariah yang ada di Jambi (BMI, BSM dan BRI-Syariah) memerlukan SDM-SDM yang ¬holistik-integratif. Memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang keuangan tetapi juga tidak sungkan dengan teks fiqih klasik.
Dengan SDM yang demikian ini, maka kendala-kendala yang dapat menghadang pertumbuhan Bank Syariah di Jambi dapat dimusnahkan. Sehingga kedepannya Perbankan Syariah di Jambi dapat mewujudkan Misi Jambi EMAS (Ekonomi Maju Aman dan Sejahtera). Wallahu a’lam bi al-shawab


* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN STS Jambi dan kini Penulis aktif di FISTaC (Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization) sebagai Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Pembiayaan UKM Syariah dan Kemandirian

MENGAPA saat ini banyak bank masuk ke sektor UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), khususnya kredit mikro? Jawabnya adalah karena adanya hasil data dan fakta bahwa sektor mikro ini pasarnya seksi, penetrasinya ke pelosok-pelosok lambat, karena itu banyak pemain baru yang masuk.

Keputusan kritisnya agar sukses, adalah perhatikan target segmen. Sistem dan daerah mana untuk menentukan strategi persaingannya, serta regulasinya.

Dari catatan salah satu bank asing yang mau masuk ke UMKM khususnya mikro, ada pertanyaan, berapa sih sesungguhnya potensi pembiayaan kecil dan mikro? Kalau dilihat proposinya untuk yang usaha kecil maka sektor agri 85% dan nonagri sekitar 15% dengan rata-rata pinjaman sekitar Rp250 juta dengan potensi pinjaman lebih dari 150 T, menghasilkan NIM 6% dan NIM Pool 8,9%, sementara untuk yang rata-rata Rp60 juta pinjamannya potensinya sekitar 204 T menghasilkan NIM 14,6% dan NIM Pool 28%.

Inilah yang di perebutkan oleh perbankan sesungguhnya, dan bukan pinjaman ke usaha mikro permanen yang segmen agrinya 60% dan nonagri 40% dengan rata-rata pinjaman sekitar Rp10 juta dengan potensi pinjaman lebih dari 117 T, menghasilkan NIM 25% dan NIM Pool 29,2%.

Hal yang sama untuk segmen mikro nonpermanen yang agrinya 40% dan nonagrinya 60% dg rata-rata pinjaman sekitar Rp10 juta dengan potensi pinjaman lebih dari 117 T, menghasilkan NIM 25% dan NIM Pool 29,2%. Jadi segmen mikro ini masih blue ocean.

Bila melihat yang dilakukan perbankan, maka umumnya penetrasi mereka lebih banyak ke usaha kecil dengan rata-rata pinjaman Rp250 juta dengan penetrasi level sekitar 37%, baru yang rata-rata Rp60 juta dengan penetrasi level 23%, baru untuk pinjaman mikro yang rata-rata Rp10 juta untuk yang target mikro permanen sekitar 23% penetrasi levelnya dan sisanya 20% penetrasi level untuk yang mikro nonpermanen dengan rata-rata pinjaman juga Rp10 juta.

Sektor bisnis yang dimasuki kebanyakan ke agribisnis, perdagangan, manufaktur, dan restoran. Untuk perbankan pertarungan ini masih dimenangkan oleh BRI, kemudian BCA, dan ketiga Danamon dalam hal mencetak laba, dan profit tinggi ini adalah karena tingkat bunga yang tinggi hingga mencapai lebih dari 40%. Padahal biaya dana bank-bank tersebut cukup rendah yang juga berasal dari penabung-penabung UMKM sekitar 6%, risiko macet sekitar 6%, overhead 3%, operasi, dan amortisasi sekitar 6%, jadi marginnya sekitar 19%.

Hal yang sama pun terjadi di luar negeri khususnya di Amerika Latin. Hal inilah yang menyebabkan pasar Bank Perkreditan Rakyat atau BPR dan Lembaga Keuangan Mikro atau LKM di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terus menyusut. Meningkatnya jumlah dan agresivitas bank umum termasuk yang dikuasai asing bermain di segmen UMKM membuat BPR dan LKM makin terdesak.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pangsa pasar kredit UMKM BPR terhadap kredit UMKM perbankan nasional per Juni 2009 sebesar 3,92%, turun dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya sebesar 4,15% dan tahun 2004 yang masih 4,5%.

Dengan sumber daya yang lebih memadai, teknologi informasi yang canggih bank umum termasuk milik asing relatif lebih mudah menjaring debitor UMKM dan tentunya dana pihak ketiga. Belakangan ini banyak penabung dan debitor BPR pindah ke bank umum, karena biar bagaimanapun tingkat bunga pinjaman yang ditawarkan lebih rendah dan kenyamanan bertransaksi yang sulit ditandingi.

Dalam beberapa tahun terakhir memang makin banyak bank umum yang bermain di segmen UMKM yang selama ini menjadi fokus BPR dan LKM. Selain Bank BUMN dan Bank Pembangunan Daerah (BPD), bank swasta milik asing juga makin giat menggarap segmen ini sampai ke desa-desa.

Cabang bank asing juga gencar menawarkan kredit tanpa agunan di bawah Rp50 juta. Sedikitnya ada 23 bank umum nasional dimiliki asing dengan penguasaan saham minimal 44,5% dari total saham. Bank umum tergiur karena UMKM menjanjikan imbal hasil besar dengan margin bunga bersih di atas 10% s/d 14%, sementara segmen korporasi hanya 5%. Investor asing pun mengakuisisi bank lokal agar mendapat akses di bisnis UMKM. Di pasar yang sama, jelas BPR dan LKM tak mampu bersaing. Bank Umum bisa menghimpun dana masyarakat dengan bunga paling tinggi 6%,sementara bunga deposito BPR sebesar 11,65%.

Dampaknya, bunga kredit modal kerja BPR mencapai 35,39%, sementara bank umum bisa 24%. Akibat tak mampu bersaing, banyak BPR kesulitan dan gulung tikar. Untuk mempertahankan eksistensi BPR dan LKM, memang perlu ada pengaturan penyaluran kredit mikro oleh bank umum. Salah satunya melalui linkage program atau penyaluran kredit mikro oleh bank umum tidak perlu masuk ke desa-desa.

Bank umum bisa bekerja sama dengan BPR dan LKM dalam penyaluran kredit, dan sebaliknya BPR dan LKM juga fokus saja pada pasar komunitas di desa-desa, tidak bermain di pasar bank umum.

Secara teori penetrasi bank umum hingga ke pelosok merupakan hal positif karena menguntungkan jutaan pengusaha mikro yang selama ini kesulitan akses pembiayaan. Bunga kredit mikro juga akan turun akibat persaingan. Karena itu bagi kepentingan perekonomian nasional, tentu BI tidak bisa begitu saja melarang bank umum langsung menyalurkan kredit mikro, namun kalau BPR dan LKM berguguran tentu ini juga akan merugikan perekonomian, karena biar bagaimanapun juga berdampak terhadap tenaga kerja yang ada di sana.

Pertanyaannya adalah, apakah memang sesuram itu untuk BPR dan LKM? Jawabannya adalah tidak, karena potensi membiayai UMKM sangatlah besar, lebih dari 40 juta UMKM menunggu, yang penting strategi penetrasinya dikuasai. Kalau bermain di pasar kredit UMKM Rp50 juta s/d Rp500 juta tentulah berhadapan dengan jagoan-jagoan UMKM sperti BRI, BCA, dan DSP, karena itulah main di pasar Rp50 juta ke bawah dan lebih khusus lagi di pasar Rp100 ribu s/d Rp10 juta.

Kalau bermain di kota-kota besar apalagi di Jawa kembali akan terulang hal yang sama, karena itu masuklah di kabupaten-kabupaten dan juga di luar Jawa, kalau menggunakan sistem konvensional maka kembali akan terulang selain berhadapan dengan jawara-jawara di atas, meluncur pula jawara-jawara dari luar atau asing.

Karena itulah masuk ke sistem syariah, pesaingnya baru ada beberapa, itu pun baru efektif tahun 2010 nanti, yaitu BRI Syariah, Bahana Mikro Ventura Syariah, dan Panin Syariah.

Jejaring bank yang bergerak di mikro syariah baru sekitar 900-an sementara kalau di konvensional lebih dari 25.000 outlet. Daerah mana yang menarik untuk syariah, menurut survei BI ternyata Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, DKI, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Kemudian pemilihan produk pembiayaan pun harus benar, masuklah ke rahn atau gadai, karena nonperforming financing (NPF)-nya sangat rendah, nyaris mendekati nol. Pesaingnya baru Pegadaian Syariah dan yang mulai masuk dan akan gencar adalah BTPN Syariah.

Kalau mau margin yang tinggi masuklah ke bagi hasil untuk sektor pertanian, peternakan dan perdagangan,Pemain di sini masih pada coba-coba, namun kalau BMT sudah cukup banyak dan berhasil. Kalau mau aman masuklah ke komunitas dan kuasai daerah tertentu seperti yang dilakukan BMT-BMT, karena umumnya BMT dipimpin atau Dewan Pengawas Syariah adalah pemimpin lokal, sehingga tentunya nasabah relatif lebih loyal baik dari sisi menabung maupun membayar angsuran pinjaman.

Strategi ini yang digunakan Bank Muamalat dengan memfasilitasi dan memiliki BMT-BMT shar-e, dan kemungkinan besar BRIS pun akan mengikuti ini, juga Panin Syariah, termasuk Bahana yang sepertinya juga akan penetrasi melalui Mikro Ventura Syariah yang sebenarnya adalah BMT. Namun semua itu harus ditunjang oleh SDM yang siap.

Menurut IEF Trisakti, masih sekitar 14.000 SDM di sektor perbankan syariah yang dibutuhkan. Karena itulah mereka masuk ke pelatihan dan sertifikasi untuk para manager BMT. Mereka tahu ada 78.124 desa yang membutuhkan BMT minimal satu. Kalau seperti di Pasuruan ada satu desa yang ada tiga BMT, maka sebenarnya Indonesia membutuhkan lebih dari 200 ribu BMT.

Sayang sekali RUU Keuangan Mikro tidak masuk prolegnas, padahal sudah lebih dari 10 tahun diusulkan oleh komunitas dan pegiat mikro, padahal DPR saat ini memproklamirkan akan lebih prorakyat.

Mengapa hal tersebut diperlukan? Karena prinsip komunitas mikro adalah mereka bisa mengatur hidupnya sendiri dan membantu rakyat asal jangan diganggu, karena itu konsepnya "Kalau tidak membantu jangan ganggu".(bersambung)

ARIES MUFTI
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah(//jri)

Selamat Tinggal Bank Konvensional

Selamat Tinggal Bank Konvensional

Oleh : Suwardi*

Sistem ekonomi tidak dapat dipisahkan dari lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yang memang sangat dibutuhkan masyarakat. Namun selama ratusan tahun masyarakat dunia terbiasa dengan pelayanan bank konvensional yang berbasis bunga. Padahal bunga telah banyak menimbulkan penderitaan bagi banyak Negara di dunia. Termasuk Indonesia telah banyak menikmati dampak buruk dari sistem bunga.

Krisis perekonomian Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi dunia maupun regional yang ribawi dan dan cenderung eksploitatif, bervisi sekuler, tidak manusiawi dan menentang kodrat alam yang Allah atur (sunnatullah). Masih segar di ingatan kita bahwa krisis keuangan di Asia berawal dari didevaluasinya baht pada bulan Juili 1997 yang merupakan tantangan yang berat bagi perekonomian dunjia akhir abad ke-20. krisis ini membawa kehancuran perekonomian Negara Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan. Juga mengaikbatkan menuirunnya niolai tukar uang Negara Singapuira, Taiwan, China dan Negara lainnya di kawasan ini. Dampak devaluasi baht dirasakan jkuga oleh pasar saham di Hongkong dan juga dirasakan oleh stock exchange centers di Eropa, USA dan Jepang.

Sebuah keputusan pahit dilakukan oleh pemerintah dalam waktu singkat, dari bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank, disamping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan semua bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi.

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang berdampak pada krisis ekonomi adalah kualitas lembaga-lemabagha keuiangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga seabgai sistem ribawi yang ternyata gaagl berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan, ia sendiri berpoptensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), krisis pasar saham, dan krisis perbankan yang semuanya itu dipengaruhi negative pada kehidupan sector riil.

Berbagai literature yang ditulis oleh para ekonom muslim scholar seperti Muslehudin (1974), Qureshi (1979), Mills and Presley (1997), Choudhory dan Mirakhor (1997) tidak menyetujui perekonomian yang bertumpu pada suku bunga karena akan terjadi misalokasi resources yang pada gilirannya cenderung akan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Sedangkan Enzler, Conrad dan Johnson (1996) menemukan bukti bahwa misalokasi capital stock telah terjadi di Amerika Serikat, Negara yang sangat mengagungkan suku bunga sebagai alat untuk melaakukan indirect screening mechanism.

Dengan terjadinya misalokasi dana yang disebabkan oleh suku bunga berpengaruh terhadap tujuan-tujuan ekonomi suatu Negara, yaitu berupa pemenuhan kebutuhjan pokok, pertumbuhan ekonomi yang optimal, pemerataan distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Bahkan Umer Chapra (1996) secara tegas menyimpulkan tesisnya bahwa sistyem keuangan dan moneter yang berbasis suku bunga tidak akan efektif dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi tersebut.

Sistem bunga ribawi juga berpengaruh terhadap ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini. Menurut Umer Chapra dalam Towards a Just Monetary System (1996), tingginya votalitas dari suku bunga mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk melakukan investasi-investasi jangka panjang. Akibat dari ketidakpastian ini menggiring barrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman maupun invesatsi jangka pendek, yang pada gilirannya membuat investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih menarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditas, saham, valuta asing, dan keuangan. Keadaan tersebut membuat pasar-pasar terswebut semakin aktif dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.

Dengan demikian sangat jelaslah efek negative dari dari sistem keuangan (perbankan) yang mengagungkan sistem bunga. Bunga telah menyengsarakan masyrakat dunia, dengan kehadiran krisis, dan ketimpangan sosial ekonomi lainnya. Oleh karenanya pelarangan Bunga atau mengharamkannya secara total merupakan konsekuensi yang seharusnya diterima oleh semua kalangan.

Pelarangan Bunga

Harus dipahami bahwasanya larangan riba (usury/bunga) yang menjadi jantung sistem ekonomi Islam bukan saja terdapat dalam ajaran Islam, tetapi juga larangan pembungaan uang terdapat dalam agama-agama lainnya, seperti nasrani dan Yahudi.

Pasalnya sejak diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia di Cisarua Bogor, tanggal 22 Agustus 1990 tentang bunga bank, masih adanya sebagian ulama yang mentolerir bahkan membolehkan bunga bank dengan berbagai alasan. Diantaranya alas an pragmatis dan darurat yang masih bersifat relative dan sumir.

Pandangan Yahudi mengenai bunga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama Pasal 22 Ayat 25 yang berbunyi “jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku yang miskin di antara kamu, janganlah kamu berlaku seperti penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup di antara mu.” Dalam kitab Deutoronomy, Pasal 23 Ayat 19 antara lain disebutkan “janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik bunga uang maupun bahan makanan, ataupun yangd apat dibungakan.”

Begitu juga dalam kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 Ayat 7 juga menyebutkan “Janganlah engaku mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut dengan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engaku memberi kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau beriakn dengan meminta riba.”

Pandangan Agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam Injil Lukas Ayat 34 disebutkan. “Jika kamu mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu…….” Tidak hanya itu, para filosof Yunani juga mengecam sistem bunga. Sejarah mencatat, bangsa Yunani Kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang peminjaman uang dengan bunga.

Aristoteles dalam karyanya, Politics, telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional-filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai sistem bunga tidak adil. Sementara itu, Plato (427 – 345 SM) dalam bukunya LAWS, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktik yang zhalim.

Begitu juga dengan Islam, sebagai Agama Langit yang terakhir diturunkan, lebih keras mengecam dan mengutuknya (praktik riba/pembungaan uang). Sebagaimana terdapat dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat 275 menyatakan “orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan…..”

Bank Syariah

Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.

Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).

Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan tidak menerapkan beberapa sistem bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.

Kemudian nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.

Sebuah sistem yang sangat menentramkan dan penuh keadilan, tidak ekploitatif dan tidak adanya unsure penipuan. Namun semuanya didasarkan kepada konsep keadilan dan kebersamaan (bersama untuk menanggung risiko untung dan rugi). Jika demikian halnya sudah saatnya kita beralih ke Bank Syariah dan meninggalkan bank Konvensional yang terbukti ekploitatif melalui konsep bunga-nya. Wassalam

* Penulis adalah Mahasiswa Fak. Syariah IAIN STS Jambi dan kini aktif di FISTaC (Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization) sebagai Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Sinergi Perbankan Syariah dan UMKM

Dengan tidak tercapainya target pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah sebesar 5 persen pada tahun 2008, sudah selayaknya kalangan perbankan syariah di Indonesia membuat langkah teroboson, agar pertumbuhan itu bisa dicapai pada masa mendatang.

Atas kegagalan itu, Bank Indonesia (BI) telah meresponsnya dengan mematok angka pertumbuhan 5 persen itu pada tahun 2010. Diundurnya pencapaian target tersebut mengingat ekonomi diprediksi akan melambat tahun 2009, sehingga yang paling mungkin pertumbuhan 5 persen baru akan tercapai pada tahun 2010.

Data BI menyebutkan, hingga November 2008 pangsa pasar yang diraih perbankan syariah baru 2,08 persen dengan total aset Rp 47 triliun. Sedangkan jumlah nasabah hingga November 2008 baru 3,799 juta nasabah. Kondisi pembiayaan bahkan lebih mengenaskan karena penyaluran kredit hanya naik dari 512 ribu pada 2007 menjadi 589 ribu nasabah pada November 2008.

Ada banyak faktor penyebab kegagalan pencapaian target tersebut, antara lain masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang bank syariah. Adapun langkah terobosan yang strategis dalam rangka mendongkrak pertumbuhan pangsa pasar bank syariah adalah dengan membidik pangsa pasar dari kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jika selama ini kalangan perbankan syariah terlalu asyik membidik calon nasabah emosionaldari masyarakat umum, maka mereka sekarang mesti mengarahkan sasaran bidiknya ke nasabah rasional dari kalangan UMKM.

Mengapa UMKM? Sebab, mereka adalah pangsa pasar potensial dan akan terus tumbuh pada masa-masa mendatang. Kalau kalangan perbankan konvensional saja begitu antusias membidik mereka mengingat daya tahannya terhadap krisis dan tingkat kredit macetyang relatif kecil, mengapa kalangan perbankan syariah tidak mengambil langkah yang sama?

Pangsa pasar UMKM cukup besar karena sekarang di Indonesia terdapat sekitar 50 juta unit UMKM, terdiri dari 47.702.310 unit usaha mikro, 2 juta unit usaha kecil, dan 120.000 unit usaha menengah. Namun, sebagian besar usaha ini menghadapi kesulitan mendapatkan kredit dari perbankan nasional. Dari total semua UMKM, hanya 18,9 juta pengusaha yang menjadi nasabah bank. Sisanya, sekitar 31 juta tidak punya akses ke bank.

Memang, sejak awal 2008 pemerintah telah meluncurkan program pembiayaan baru bagi UMKM dan koperasi, yaitu kredit usaha rakyat (KUR). Danayang disediakan sebesar 14,5 triliun disalurkan melalui enam bank pelaksana, yaitu BRI, BNI, BTN, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Syariah Mandiri. Pagu kredityang diberikan mulai Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dengan bunga maksimal 16 persen per tahun.

Cuma, sejauh ini banyak yang menilai bahwa penyaluran KUR belum berjalan efektif karena banyak terjadi penyimpangan (anomali) di lapangan. Selain tidak tepat sasaran, juga tidak merata ke seluruh daerah diIndonesia. Belum lagi adanya bank pelaksana yang masih mematok bunga di atas 16 persen serta mensyaratkan jaminan tambahan, padahal KUR telah dijaminkan pemerintah melalui PT Asuransi KreditIndonesia (Askrindo) dan Perum Sarana Pengembangan Usaha sebesar Rp 1,45 triliun.

Memang benar bahwa tidak semua pelaku UMKM memerlukan kredit perbankan. Seperti para pelaku usaha gerabah atau keramik hias di daerah Kasongan, Yogyakarta dan para produsen tenun ikat parengan di Lamongan, Jawa Timur. Mereka rata-rata mencari sumber pendanaan bukandari bank, melainkan dari DP (uang muka) calon pembeli.

Namun, tidak semua kondisi usaha UMKM sama persis seperti kasus di Yogya dan Lamongan. Sebaliknya, lebih banyak lagi yang memerlukan bantuan pendanaan baik dari perbankan maupun nonperbankan. Seperti yang dialami para perajin anyaman serat lontar di Takalar, Sulawesi Selatan dan perajin anyaman keladi air di Pontianak.

Pelaku UMKM tipe demikian sebetulnya bisa dijadikan pangsa pasar baru oleh kalangan perbankan syariah. Dari populasi 50 juta pelaku UMKM itu, jika saja 10 persennya dapat diraih bank syariah, akan ada penambahan nasabah baru sekitar 5 juta orang dari nasabah lama yang berjumlah hanya 2 juta orang. Itu berarti akan terjadi pertumbuhan hingga 150 persen lebih pada nasabah bank syariah.

BI selama ini sejatinya sudah mendorong kalangan perbankan syariah membantu UMKM untuk mengembangkan usaha. Data BI menyebutkan,dari seluruh pembiayaan bank syariah, yang mendekati Rp 20 triliun pada 2007, sekitar 70 persen disalurkan ke sektor UMKM.

Jika kalangan perbankan syariah serius akan menjadikan pelaku UMKM sebagai pangsa pasar potensialnya, diperkirakan mereka bakal menyambutnya dengan positif. Alasannya cukup simpel, selama ini para pelaku UMKM enggan berhubungan dengan bank konvensional karenafaktor suku bunga ( interest rate) yang terlalu tinggi untuk ukuran mereka dengan rata-rata dipatok di atas 12 persen. Padahal, suku bunga kredit yang layak bagi UMKM maksimal 8 persen setahun.

Sementara itu, bank syariah dalam operasionalisasinya memakai prinsip bagi hasil (profit-sharing) atau mudarabah, yaitu akad kerja sama usaha di antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pihak pengelola.

Dengan menempatkan dana dalam prinsip mudarabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, tetapi nisbah bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 persen-56 persendari hasil investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11 persen-12 persen.

Inilah sisi keuntungan bagi para pelaku UMKM jika mereka menggunakan transaksi syariah yang tidak didapatkan pada transaksi bank konvensional. Bak gayung bersambut, kedua pihak dipastikan saling menangguk keuntungan (simbiosis mutualisme), di mana kalangan perbankan syariah bakal mendapatkan pangsa pasar potensial, sementara para pelaku UMKM memperoleh pembiayaan perbankan dengan bunga rendah dan lunak, serta layanan cepat dan tidak berbelit-belit. Semoga!

Minggu, 17 Januari 2010

BMT Menuju Koperasi Madani

Dunia Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) bisa dikatakan menjadi keseharian hidup Ahmad Sumiyanto SE MSi (lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1970, sebagai anak seorang petani). Begitu selesai kuliah dari program D3 Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM), pada 1993; ia mendirikan BMT Al Ikhlas, pertama berkantor di garasi rumah keluarganya dengan hanya bermodal Rp 500 ribu.

BMT-nya ternyata berkembang dan bisa membuka sejumlah cabang di desa-desa di DI Yogyakarta dan Klaten (Jateng) di bawah naungan Al Ikhlas Grup. Selanjutnya, ia bisa mendirikan Bank Madina Syariah Yogyakarta.
Ia terpilih menjadi ketua Perhimpunan BMT Indonesia/BMT Center masa bakti 2007-2010 (beralamat di Gedung Adhi Graha Lt 18 Suite 1802 A, Jl Gatot Subroto, Jakarta).

Kini, ia harus pulang pergi Jakarta-Yogya dalam usaha bersama untuk mengembangan BMT di Tanah Air sebagai bagian dari gerakan untuk memajukan dunia koperasi dan ekonomi kerakyatan.

Ahmad juga dipercaya menjadi direktur utama dan konsultan utama di PT ISES Consulting Indonesia yang menangani pengembangan dan pendampingan pendirian BMT.

Berikut cuplikan perbincangan wartawan Republika, Yoebal Ganesha, dengan Ahmad Sumiyanto.
Bagaimana Anda memandang keberadaan BMT yang tumbuh marak saat ini?
Lahirnya BMT tak lepas dari semakin tumbuhnya kesadaran umat Muslim untuk berbisnis secara syariah. BMT menjawab kebutuhan adanya lembaga keuangan, bukan bank, dalam skala mikro–sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP)–dengan sistem syariah.
Bicara BMT, bagi saya, tak bisa dilepaskan dengan usaha/gerakan untuk membumikan ekonomi kerakyatan dan juga koperasi. BMT tampil sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Di sini, BMT memberikan ”pinjaman modal dengan hanya kembali modal”. Maksudnya, agar dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS)–yang juga dikelola BMT–itu bisa mengalir pada kegiatan produktif.

Apakah secara sosio-ekonomi BMT dapat menjawab kebutuhan masyarakat?
Ribuan BMT kini telah tumbuh di penjuru Tanah Air, terutama di Pulau Jawa. Artinya, lembaga keuangan mikrosyariah ini bisa diterima oleh semua kalangan. Bukan hanya Muslim, juga non-Muslim.
Tumbuhnya BMT sampai ke kota-kota kecamatan bisa memberikan solusi pendanaan (penyaluran modal) yang mudah dan cepat sampai ke desa-desa, terutama untuk para petani serta usaha kecil dan mikro (UKM). BMT juga tumbuh karena ada sektor-sektor riil yang tumbuh di masyarakat, yang hidup berdasarkan potensi lokal, bukan impor.
Berkaitan dengan UKM, BMT biasanya tak hanya terjun dalam pendanaan, tapi juga membantu manajemen, bahkan sampai pemasaran produk. Para pendiri umumnya kaum muda yang punya iktikad moral terpuji. Ada semangat pada diri mereka untuk memberantas praktik rentenir yang menjerat rakyat kecil melalui gerakan BMT.
Selain itu, gerakan ini terbukti mampu melewati krisis ekonomi 1996-1998. Saat kondisi krisis global kini, alhamdulilah, tidak berimbas kepada BMT karena BMT konsentrasi pada pemberdayaan UKM yang notabene itu adalah potensi lokal sendiri. BMT bukan berpraktik ‘di dunia maya’ (moneter).
Dalam perekonomian kita, di mana posisi BMT?
Sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syariah, BMT bisa memberikan solusi dalam usaha pemberdayaan usaha kecil serta menjadi inti kekuatan ekonomi berbasis kerakyatan. Operasinya yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di perkampungan sulit diikuti oleh perbankan (bagi bank, cost-nya jadi mahal).
Tumbuhnya BMT juga potensial digunakan sebagai alat untuk pengentasan kemiskinan dengan membuka perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyakat, dan pengembagan kewirausahaan.

Ada BMT yang berkembang dan ada yang gagal. Apa yang terjadi?
BMT yang stagnan dan gagal biasanya motivasi berdirinya karena ingin bantuan (modal untuk koperasi) dari pemerintah. Bukan dari gagasan yang visioner, yang memiliki visi entrepreneur yang kuat.
Tapi, kalau bicara kolaps, bukankah banyak lembaga keuangan setingkat bank (besar) yang runtuh, entah karena salah urus atau karena terpukul resesi ekonomi global. Runtuhnya malah membebani masyarakat karena pemerintah lalu membantu mereka.

BMT kini berpayung hukum pada koperasi. Bukan bisa jadi masalah tersendiri?
Kelembagaan koperasi sebagai payung hukum BMT (model koperasi jasa keuangan syariah-KJKS) cukup untuk saat ini. Persoalannya adalah bagaimana membangun koperasi modern yang taat asas, dikelola dengan profesional (total, bukan sampingan), bergerak atas dasar analisis pasar yang jelas dengan menyurvei masyarakat untuk membidik captive market yang kuat.
Dengan pengalamannya, ia sering diminta menjadi pembicara untuk pengembangan perekonomian syariah dan koperasi dalam berbagai pelatihan, seminar, danworkshop, terutama yang berhubungan dengan microfinancing danentrepneurship (kewirausahaan).
Bersama istrinya, Sofianasari (dikaruniai empat anak), pasangan ini juga sering diminta berbicara dalam kegiatan majelis taklim di Yogya.

Sekurangnya, 140 BMT kini berasosiasi pada BMT Center. Apa latar belakangnya?
BMT Center berdiri atas inisiatif dari Dompet Dhuafa dan perwakilan 12 BMT di daerah. Mereka dari DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, dan DI Yogyakarta.
Inisiatif pembentukan BMT Center muncul untuk penguatan dan perbaikan BMT-BMT yang tumbuh marak. Ini dianggap perlu adanya sebuah lembaga khusus yang mampu menaungi, mengembangkan, serta mengoordinasi potensi BMT-BMT dalam suatu jejaringan (networking) yang solid. Lembaga ini bersifat independen, profesional, dan transparan.
BMT Center berdiri pada 14 Juni 2005, bersamaan dengan penyelenggaraan acara Syariah Micro Finance Summit 2005, yang mengusung tema ”Urgensi Perhimpunan BMT Indonesia dalam Meningkatkan Kualitas dan Peranan Lembaga Keuangan Mikro Syariah” di Jakarta.

Seperti apa perkembangan BMT Center saat ini?
Sangat bagus. Ini ditandai dengan pertumbuhan aset (BMT-BMT anggotanya) yang cukup signifikan, sampai 40 persen dari sejak berdiri. Sebanyak 140 BMT kini berasosiasi pada BMT Center dengan masing-masing mempunyai aset sampai Rp 10 miliar. Artinya, ini menyangkut aset sampai Rp 1,4 triliun yang bisa digerakkan untuk mendukung kebutuhan permodalan bagi UKM.

Apa visi dan misi dari BMT Center?
Ingin menjadi pusat pendorong tercapainya BMT-BMT yang kokoh, kuat, dan profesional. Misi kami adalah ingin meningkatkan capacity building BMT-BMT anggotanya dan BMT-BMT calon anggota melalui jasa pendampingan teknis, manajemen, dan pelatihan yang berkesinambungan dan terarah.
Selain itu, kami berusaha melakukan intermediasi dan advokasi, baik antara BMT anggota, BMT-BMT calon anggota, maupun pihak dan lembaga di luar BMT. Maksudnya, agar bisa terwujud aliansi stategis dalam gerakan pemberdayaan ekonomi umat (ekonomi kerakyatan)–melalui pemberdayaan UKM.
Kami juga ingin berperan serta dalam gerakan dakwah bil hal tentang pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis ekonomi syariah melalui BMT-BMT.

Strategi apa untuk mendukungnya?
BMT Center membentuk dua sayap kegiatan. Pertama, PT Permodalan BMT sebagai wholesaler yang berfungsi menguatkan likuiditas dan penguatan masalah permodalan. Kedua, untuk mengatasi persoalan SDM, dibentuklah BMT Institute.
BMT Center juga berfungsi sebagai self regulatory organization, koordinator untuk meningkatkan koordinasi lembaga regulator (Bank Indonesia atau departemen terkait, seperti Departemen Koperasi), misalnya dalam hal rating BMT-BMT, standar profesi pengelola BMT, dan etika dalam menjalankan bisnis BMT.
Untuk membangun capacity building, baik BMT maupun debiturnya, kami membentuk, menyehatkan, dan meningkatkannya melalui pendampingan teknis, training, dan jasa manajemen lain.

Bagaimana BMT Center menguatkan kiprah BMT-BMT di lapangan?
Asosiasi berkonsentrasi pada anggotanya, memberikan solusi-solusi, seperti untuk krisis likuiditas bagi anggota yang mengalami kesulitan pembiayaan.
Asosiasi membantu pengembangan SDM di BMT, melakukan pelatihan dan pendampingan terus-menerus, serta meningkatkan inovasi produk-produk pembiayaan agar lebih konsisten pada syariahnya sehingga secara bisnis terus tumbuh dengan profesional dan dapat bersaing dengan lembaga-lembaga lain dalam bingkai syariah.
BMT Center juga berupaya membangun profesionalisme kepada anggota-anggotanya. Dan, kami mengedepankan pola pengembangan SDM yang sustainable (berkelanjutan).

Langkah ke luar apa saja yang sudah dikerjakan BMT Center?
Kami menjalin kerja sama dengan BI atau lembaga-lembaga lain sebagai lembaga donor untuk memperkuat permodalan anggota BMT Center.

Apa isu-isu aktual internal BMT?
Mengapa dibutuhkan asosiasi semacam BMT Center? Ini agar gerakan BMT bisa berpikir lebih strategis. Di antaranya, bagaimana supaya ada lembaga riset yang konsentrasi untuk melihat progres atau perkembangan BMT.
Lembaga riset ini diusahakan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul. Dari sisi kuantitas, apakah lembaga keuangan, seperti BMT, sudah menjalankan fungsi-fungsi pembiayaannya secara baik atau belum.

Bagaimana Anda melihat permasalahan UKM dan LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah)?
BMT sebenarnya tumbuh bersama UKM. Saya melihat pembangunan pemerintah belum fokus pada pembiayaan usaha kecil melalui LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Ini pasarnya BMT yang masih sangat luas. Selama ini, BMT melakukan pembiayaan dengan plafon Rp 3-5 juta.
Sayangnya, BMT sebagai gerakan bisa dikatakan kurang mendapat perhatian pemerintah. Tak seperti lembaga keuangan besar.
Apa lagi yang dimiliki oleh gerakan dan bisnis BMT sehingga bisa dikatakan dapat berperan menjadi bagian dari solusi perekonomian nasional?
Para pelaku BMT umumnya punya idealisme dengan komitmen terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Umumnya, mereka yang terjun pada BMT adalah anak-anak muda yang punya integritas moral.
Sudah terbukti, BMT bisa tumbuh karena mereka memang memberikan kemudahan jasa keuangan kepada UKM dengan prosedur yang tidak birokratis. Ini karena organisasi BMT yang ramping. Apalagi, di lapangan, rata-rata BMT melakukan sistem jemput bola.
Menurut saya, BMT akan terus berkembang dan memberikan manfaat kepada masyarakat jika memfokuskan diri dalam pembiayaan sektor agro (pertanian), akses kepada petani, penggemukan sapi/kambing, housing, dan perdagangan.
Ahmad mengambil sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1999). Ia juga mengajar di Universitas Islam Indonesia (almamaternya untuk program S2 di bidang ekonomi Islam). Kini, ia ingin mengambil program S3 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Sekurangnya, ia telah menulis lima buku. Salah satu bukunya kini menjadi acuan bagi mereka yang ingin mendirikan BMT–judul BMT Menuju Koperasi Modern.

Bagaimana pemerintah bisa membantu menumbuhkan BMT dan UKM?
Perlu dipikirkan bagaimana bisa diusahakan penguatan (permodalan) BMT. Misalnya, pemerintah memberikan skema pembiayaan pada UKM lewat microfinance yang lebih bervariasi dan produktif dengan syarat yang mudah sehingga mudah diakses oleh usaha-usaha mikro.
Pemerintah juga harus betul-betul berkomitmen untuk pengembangan BMT sebagai gerakan koperasi. Sebagai contoh, Kementerian Negara Koperasi/UKM pernah mengembalikan dana bergulir sebesar Rp 381 miliar pada negara. Penarikan dana ini terkait terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 99 yang mewajibkan dana bergulir harus dikembalikan.
Sebelumnya, tahun 2005, dana bergulir tidak perlu dikembalikan. Jadi, istilahnya dana sosial.
Sebetulnya, BMT siap untuk mengelola dana macam itu dan mengembalikan (walaupun dikomersialkan). Ini menunjukkan bahwa Kementerian Negara Koperasi belum mampu memotret potensi BMT secara utuh.
Selain itu, di BUMN, ada bagian keuntungan yang akan disalurkan pada UKM dengan bunga enam persen. Sebenarnya, BMT juga mampu mengelola dana tersebut, tapi skim-nya harus dibuat secara syariah.

Bagaimana dengan perbankan?
Perbankan harusnya juga berpihak pada microfinance dengan menyalurkan dana pada UKM. Mereka bisa bekerja sama dengan BMT. Untuk funding-nya dari perbankan, BMT fokus pada lending (penyaluran).
BMT bisa menjadi partner bank-bank besar untuk masuk ke penyaluran pembiayaan mikro. Memang, kini ada bank-bank yang terjun ke pembiayaan mikro untuk menjangkau UKM-UKM. Tapi, agaknya usaha itu high cost bagi bank-bank besar. Nah, mengapa tak bermitra dengan BMT? Tapi, dasarnya harus syariah.

Sumber: http://www.republika.co.id