Minggu, 17 Januari 2010

Dari Murabahah Menuju Musyarakah, Upaya Mendorong Optimalisasi Sektor Riel

Abstrak

Murabahah ternyata mendominasi portofolio bank syariah. Kendati tidak dapat disalahkan secara fiqh dan orientasi kebijakan perbankan, pilihan kebijakan ini mengandung sejumlah resiko: mulai dari penyimpangan dalam praktik yang mengancam keabsahan operasi secara syariah, sampai kepada sulitnya menciptakan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riel. Yang disebut terakhir - keseimbangan sektor moneter dan riel - adalah salah satu pilar yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Makalah ini menawarkan sebuah pola agar terjadi keseimbangan antara sektor riel dan moneter melalui aplikasi musyarakah. Untuk itu diperlukan beberapa prasyarat. Keseimbangan portofolio perbankan syariah yang proporsional antara sektor keuangan dan riel akan menjamin pergerakan dan pertumbuhan sistem ekonomi syariah yang didambakan semua pihak.
Iftitah
Makalah ini menawarkan sebuah gagasan dalam rangka menyinergikan sektor riel dan moneter untuk kebangkitan sistem ekonomi Islami di Indonesia. Sudah menjadi fenomena umum, baik di tingkat dunia, maupun di Indonesia, bahwa dalam perkembangan gerakan ekonomi Islam terjadi kecenderungan tidak seimbangnya kegiatan di sektor monoter atau keuangan dan riel [Adnan, 2003; lihat juga Tohirin, 2003, Karim 2002]. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, misalnya, pertama: bahwa perkembangan gerakan ekonomi Islam lebih ditandai oleh banyaknya pendirian lembaga keuangan, baik yang bersifat perbankan, maupun lembaga keuangan non-bank (bila dipakai perspektif pendekatan konvensional ) seperti takaful, pasar modal, reksadana, obligasi syariah sampai dengan pegadaian syariah. Kedua, sesuai dengan ‘fitrah’nya, lembaga keuangan tersebut memang hanya banyak berkutat pada sektor moneter, dan tidak terlalu berarti dalam membangun dan mengembangkan kegiatan ekonomi di sektor riel.

Pengalaman sudah membuktikan, bahwasanya penekanan terlalu jauh kepada sektor keuangan dan mengabaikan sektor riel dapat berakibat lumpuhnya ekonomi itu sendiri. Apa yang dialami bangsa ini sejak beberapa tahun yang lalu dan memuncak dengan munculnya krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 adalah pelajaran amat berharga dari kelalaian semua pihak dalam memperhatikan pentingnya keseimbangan antara sektor riel dan moneter. Namun, sekali lagi, penulis khawatir bahwa banyak pihak sudah lupa akan pelajaran penting tersebut, sehingga sejauh ini, belum banyak terdengar upaya yang mengarah kepada keseimbangan kedua sektor ekonomi yang saling menunjang itu, termasuk dalam konteks gerakan ekonomi Islami.

Data yang ditunjukkan oleh Mujiyanto [2004, 14-5] dalam reportasenya di majalah Modal, dengan jelas mengindikasikan hal tersebut. Untuk tahun 2003 misalnya, portofolio produk pendanaan atau pembiayaan Musyarakah hanyalah 2,86%, dan Mudharabah sebesar 14.33%. Sebaliknya produk pembiayaan Murabaha mendominasi hingga 71,21%. Data yang disajikan Mujiyanto merupakan kondisi rata-rata yang merefleksikan portofolio produk perbankan syariah nasional secara keseluruhan, dan bukan terjadi dalam satu dua kasus bank syariah yang ada. Artinya, data tersebut secara langsung menggambarkan kecenderungan umum pola operasi perbakan syariah di negeri ini.

Bukan kebetulan rasanya, bila Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengemukakan kekhawatiran yang sama dalam kesempatan menyampaikan keynote speech-nya dalam pertemuan Konvensi dan Deklarasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia di Jakarta, 3 Maret 2004 yang lalu di Jakarta .

Data (untuk posisi November 2004) yang dilaporkan dalam Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia [2004, 14] juga menguatkan informasi di atas, ketika Musyarakah baru mencapai 10,9%, Mudaharabah 17,4%, sedangkan Murabahah masih mendominasi di posisi 66,3%.

Beranjak dari fenomena inilah, menurut penulis harus dipikirkan jalan keluar agar gerakan ekonomi Islam tidak mengulangi kesalahan seperti dalam sistem ekonomi nasional beberapa waktu yang silam, yang menyebabkan terjadinya bubble growth, dan akhirnya membawa malapetaka munculnya krisis moneter dan berkembang menjadi multidimenasi yang belum juga dapat diakhiri sampai kini. Bila sampai terjadi pengulangan kesalahan dalam sistem ekonomi Islam yang sekarang sedang digalakkan, maka akan muncul tuduhan atau pertanyaan, apalah bedanya sistem ekonomi Islami dengan sistem lain [konvensional] yang tidak mampu membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat?

Ada apa dengan Murabaha?
Seperti sudah disinggung di muka, bahwasanya kenyataan menunjukkan produk murabaha sudah mendominasi portofolio perbankan syariah, baik yang berbentuk Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) bahkan sampai pada tingkat Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Adakah yang salah atas pilihan murabaha ini?

Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana persoalan ini harus dipandang. Bila dilihat dari kacamata fiqh, jelas tidak ada aturannya. Fiqh [dalam pengertian normatif], tidak pernah mengatur portofolio produk sebuah lembaga keuangan syariah seperti bank. Tidak ada istilah proporsi halal atau haram dalam pengaturan portofolio produk atau jasa perbankan syariah. Oleh karena itu, adalah sah dan boleh saja bila sebuah bank syariah lebih mengutamakan menjual produk pembiayaan murabaha itu. Dalam bahasa lain, hal ini lebih bersifat kebijakan bisnis sebuah lembaga keuangan syariah, dan tergantung tentunya kepada kepentingan apa yang ada dibalik kebijakan itu.

Bila lalu digunakan sudut pandang kepentingan lembaga bank itu sendiri, justru pilihan atas murabaha dibandingkan mudharabah atau musyarakah adalah pilihan yang paling menarik, menguntungkan dan relatif mengandung resiko kecil. Mengapa? Ada sejumlah alasan. Pertama, barangkali murabaha adalah produk yang mudah diekivalenkan dengan pola perbankan [baca: kredit] konvensional. Konsekuensinya, produk ini mudah dipahami oleh bank dan masyarakat sekaligus. Oleh karena itu pula, produk ini mudah disosialisasikan. Kedua, karena bentuknya yang mudah dipahami, maka juga mudah dilakukan perhitungan, sehingga produk murabaha relatif mudah dijual, dan sekaligus mengandung resiko kecil di mata bank. Oleh sebab itu, adalah wajar bila perbankan syariah lebih menyukai dan membesarkan portofolio dalam bentuk produk murabaha tersebut. Namun, pandangan normatif fiqh dan kepentingan perbankan syariah saja, tentu tidak cukup untuk menilai persoalan murabaha ini. Ada sejumlah persoalan lain yang patut dicatat dalam praktik murabah, misalnya:

Pertama, praktik murabaha mempunyai potensi yang mudah untuk disalahgunakan. Sering terdengar keluhan bahwa dalam menjual produk murabaha, bank syariah bertindak bagaikan menjual kredit konvensional.

Menurut definisi, murabaha “adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.” [Antonio, 2000, 145]. Sebuah konsekuensi dari murabaha adalah pihak bank haruslah melakukan pembelian dan kemudian menjual kembali dengan margin yang disepakati. Namun sering terdengar cerita, khususnya dari pihak nasabah, bahwa [oknum] perbankan syariah menjualnya hampir tidak berbeda dengan dengan ‘menjual’ kredit konvensional, misalnya dengan langsung memberikan ekivalensi margin, dan tidak mau tahu dengan produk apa yang akan dibeli nasabah, bahkan juga tidak melihat langsung properti yang akan dijualnya itu. Lebih celaka lagi lagi, tidak jarang terdengar, terminologi ‘bunga’ masih muncul sebagai padanan terminologi ‘margin’, padahal keduanya berbeda dalam kacamata syariah [lihat misalnya QS Al-Baqarah (2):275].

Bagi awam, baik yang pragmatis maupun idealis, ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, dan berujung pada tuduhan bahwa bank syariah hanya melakukan proses ganti jaket atau istilah, tanpa merubah substansi operasinya sesuai dengan prosedur syariah itu sendiri. Pada gilirannya, boleh jadi muncul kehilangan rasa percaya kepada bank syariah khususnya dan sistem ekonomi Islami, pada umumnya.

Pertanyaan dan tuduhan yang lebih keras muncul, manakala besarnya margin yang dipatok bank syariah, ternyata sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank konvensional. Sehingga, menjadi amat sulit menjelaskan sisi syariah bank Islam itu, di mata sebagian tertentu masyarakat .

Kedua, secara makro, pilihan yang lebih banyak pada penjualan produk murabaha oleh perbankan syariah sejauh ini membuat nuansa moneter menjadi lebih menonjol dalam kegiatan gerakan ekonomi Islam sendiri dibandingkan sektor riel [betapapun mungkin ini tidak bersifat sangat mutlak], seperti halnya kredit uang dalam perbankan atau lembaga keuangan konvensional . Apalagi, kebanyakan properti yang dijual dengan cara murabahah jauh lebih banyak yang bersifat konsumtif daripada produktif, seperti sepeda motor, kendaraan roda empat, rumah dan semacamnya. Padahal, sulit disangkal betapa perlunya keseimbangan antara sektor riel dan moneter, agar jalannya ekonomi harmonis dan tumbuh secara sehat [lihat Adnan 2003; Tohirin 2003]. Berdasarkan kondisi di ataslah maka membiarkan bengkaknya porsi murabaha dalam portofolio perbankan syariah mengandung bahaya yang mengancam perekonomian nasional, dan bahkan mengancam keberhasilan gerakan ekonomi Islami itu sendiri.

Mudharabah atau Musyarakah?
Sesungguhnya produk mudharabah dan musyarakah merupakan dua produk perbankan syariah yang berpotensi sangat besar dalam menciptakan keseimbangan sektor moneter dan syariah . Mengapa demikian? Karena kedua produk ini betul-betul melibatkan dua pihak yang sedang bergerak mengelola sektor usaha yang tidak usah diragukan memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung.

Mudharabah, misalnya per definisi adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih, yang mewajibkan salah satu pihak hanya menyediakan modal, sehingga yang bersangkutan disebut sebagai shohibul maal, dan pihak lain semata-mata menyediakan keahliannya (mudharib). Dalam hal terjadi laba, maka kedua belah pihak akan berbagi laba sesuai dengan proporsi yang sudah disepakati di awal kontrak atau aqad antara kedua belah pihak, dan bilamana terjadi kerugian normal, maka kerugian finansial akan ditanggung oleh shohibul maal, sedangkan kerugian lain yang bersifat non-finansial atau non-material akan ditanggung oleh mudharib. Sebaliknya, bila kerugian terjadi akibat kelalaian yang disengaja pihak mudharib, maka kerugian tersebut menjadi tanggungjawab yang bersangkutan sepenuhnya [lihat Antonio, 2002; Vogel and Hayes, 1998]

Di sisi lain, musyarakah dapat dipahami sebagai kerjasama dua pihak atau lebih. Masing-masing pihak memberikan kontribusi modal, baik finansial maupun keahlian. Berbeda dengan mudaharabah, maka dalam hal musyarakah, baik laba maupun rugi [normal] akan dinikmati dan ditanggung secara proporsional antara kedua pihak yang terlibat dalam syirkah tersebut [Antonio, 2002; Vogel and Hayes, 1998].

Dua pengertian di atas, baik mudharabah maupun musyarakah menunjukkan dengan jelas bahwa keduanya dapat dipastikan merupakan kerjasama ideal yang melibatkan dua sektor ekonomi sekaligus dan sangat mendorong sektor riel untuk berkembang. Namun, seperti sudah disinggung dimuka dan terlihat jelas dalam Tabel 1, portofolio perbankan syariah untuk kedua produk ini relatif jauh lebih kecil dibandingkan murabaha, misalnya.

Ada sebuah ironi lain yang terjadi dalam konteks sosialisasi perbankan syariah selama ini. Tidak jarang, dalam kegiatan pengenalan perbankan syariah, dan dalam berbagai wacana ekonomi Islam, mudharabah menempati posisi di muka dalam penjelasan dan contoh. Bahkan seakan-akan mudharabah menjadi produk andalan yang akan dijual pertama. Namun, dalam kenyataan, terjadi sebaliknya. Data di atas menunjukkan dengan jelas kesenjangan antara Mudharabah dalam teori dan praktik. Adakah yang salah dengan mudharabah?

Mudharabah memang sebuah produk ideal. Kendati diakui tidak orisinil dikembangkan oleh Islam sendiri – karena sudah dikenal sebelum Islam disyiarkan oleh Muhammad SAW – mudharabah justru sudah dicontohkan oleh Muhammad SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Seperti umum diketahui, Muhammad SAW melakukan kegiatan mudharabah dengan seorang janda kaya, yang kemudian menjadi istri beliau, yakni Siti Khadijah. Namun, berpijak pada definisi mudharabah berikut contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw, mudharabah pada dasarnya ideal dengan sejumlah prasyarat, seperti keharusan sikap jujur para pihak yang terlibat, terjaganya sistem pembukuan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan, dan adanya sikap amanah, khususnya dari pihak mudharib.

Dalam kondisi riel di Indonesia, kendati mudharabah diakui mencapai rata-rata 14,33% dari total pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah, maka harus dipahami bahwa mudharabah yang dilakukan menempuh prosedur yang sangat dapat diperdebatkan. Misalnya saja, bahwa hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan kontribusi modal pihak mudharib. Ini jelas tidak sesuai dengan aturan dasar mudharabah itu sendiri, karena – seperti diungkapkan di atas – bahwa dalam perjanjian mudharabah maka modal finansial seseungguhnya menjadi tanggungjawab pemilik modal atau shohibul maal. Sebaliknya, mudharib memang hanya cukup bertanggungjawab pada sisi ketrampilan dan operasional. Oleh karena itu, mudharabah yang saat ini dilakukan lebih merupakan quasi mudharabah, pseudo mudharabah, atau setidaknya mudharabah yang sudah dirubah (modified mudharabah). Selain tidak sesuai dengan definisi baku mudharabah, praktik ini mempunyai beberapa resiko lagi, misalnya:

Pertama, mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, karena sering kali pihak mudharib tidak melengkapi diri dengan akuntanbilitas yang memadai dengan laporan keuangan yang auditable. Persoalan ini memang tidak mudah diatasi, karena berkaitan dengan buruknya budaya akuntansi di banyak perusahaan di negeri ini.

Kedua, di sisi lain, mudharabah menuntut prasyarat kejujuran dan keterbukaan, apalagi dalam konteks mudharabah ada sebuah pengertian bahwa pihak shohibul maal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam proyek bisnis yang sedang dijalankan oleh pihak mudharib.

Ketiga, akibat dari dua kondisi di atas, seringkali pihak bank mematok nisbah bagi hasil yang barangkali relatif cukup besar bagi bank, dan sebaliknya lebih kecil bagi nasabah. Manakala nisbah bagi hasil tersebut diekivalenkan dengan tingkat bunga bank, akan terasa bahwa porsi yang harus dibayarkan pihak nasabah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan bunga bank konvensional .

Berdasarkan berbagai kondisi di atas, penulis memandang bahwa memang cukup banyak masalah yang harus dihadapi mudharabah. Dan oleh karena itulah, bagi penulis, mempertimbangkan musyarakah sebagai sebuah solusi menjadi cukup menarik, dibandingkan mudharabah.

Musyarakah dan Persoalannya


Di atas, sudah disinggung pengertian musyarakah. Ada persamaan musyarakah dan mudharabah, namun ada juga perbedaannya yang cukup mendasar. Diantara persamaan musyarakah dan mudharabah adalah pertama, keduanya melibatkan pihak bank dan nasabah dalam sebuah kegiatan proyek bisnis riel dalam bentuk kemitraan atau partnertship. Jadi berbeda dengan murabahah yang semata-mata menjadikan hubungan bank dan nasabah sebagai pihak dan penjual saja, sehingga tidak banyak berbeda [dalam batas tertentu] dengan perilaku bank konvensional. Kedua, kedua produk ini cenderung memperkuat sektor riel, dan tidak semata-mata mendorong sektor moneter. Lebih jauh misalnya, baik mudharabah maupun musyarakah – karena bersentuhan langsung dengan sektor riel – pada gilirannya akan mampu menghidupkan kegiatan ekonomi dalam bentuk pembukaan lapangan kerja baru, yang menimbulkan lahirnya daya beli dalam masyarakat sehingga ekonomi bergulir secara lebih sehat dan merata.

Namun demikian, terdapat perbedaan antara mudharabah dan musyarakah, misalnya dalam hal, pertama: beban kontribusi. Kalau dalam mudharabah, maka ada garis pemisah yang tegas antara shohibul maal [yang hanya memberikan kontribusi modal sepenuhnya] dan mudharib [yang menyediakan ketrampilan sepenuhnya] maka dalam musyarakah, kedua belah pihak bersyerikat dalam bentuk yang lebih imbang, artinya kedua pihak sama-sama harus memberikan kontribusi modal dan keahlian .

Kedua, pola operasi. Ada kesan sangat kuat, bahwa dalam operasi proyek mudharabah, pihak mudharib mempunyai otoritas penuh, seakan-akan pihak shohibul maal tidak mempunyai hak intervensi apapun, kecuali menunggu hasil akhir jadi dan dilaporkan. Sebaliknya, dalam musyarakah kedua belah pihak mempunyai hak yang lebih wajar dalam monitoring bahkan intervensi operasi. Secara tidak langsung, pola ini dapat mengurangi salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh mudharabah, yakni moral hazard yang dilakukan pihak mudharib terhadap shohibul maal. Keuntungan lain adalah bahwa kedua partner dapat saling mengawasi, dan sekaligus memberikan ketrampilan sebatas kemampuan masing-masing pihak.

Ketiga, pola bagi hasil. Kalau dalam mudharabah terjadi laba, maka situasinya tidak berbeda dengan musyarakah, kecuali mungkin besaran nisbah yang disepakati semula. Artinya laba akan dibagi sesuai dengan perjanjian atau akad yang sudah disepakti pada awal proyek. Namun, manakala terjadi proyek rugi, bila ini merupakan kerugian normal, maka pihak shohibul maal yang akan menanggung sepenuhnya secara finansial, sedangkan kerugian non-finansial menjadi tanggungjawab mudharib. Ini berbeda sama sekali dengan musyarakah yang sepenuhnya menerapkan pola bagi hasil atau bagi laba dan atau rugi (profit and loss sharing). Artinya, baik laba maupun rugi akan dibagi secara proporsional antara kedua belah pihak. Ini memberikan perasaan lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.

Bila dibandingkan dengan praktik mudharabah, khususnya dalam posisi bank sebagai pihak mudharib, masih terdapat satu “penyimpangan” yang masih dapat diperdebatkan. Seperti lazim diketahui, bahwa selama ini apa yang dilakukan perbankan syariah dalam posisinya sebagai mudharib adalah revenue sharing, dan belum profit sharing. Dalam hal seperti ini, nilai-nilai keadilan yang dijunjung oleh ekonomi Islami dapat menjadi persoalan, karena selalu ada pihak yang “secara relatif pasti” diuntungkan, dan ada pihak yang “mungkin” atau dapat dirugikan. Namun, tampaknya hal ini masih dapat diterima secara umum, dengan pertimbangan taktis dan umur perbankan syariah yang masih sangat muda.

Pengalaman Empiris Venture Capital
Bila mau berkaca, maka ada pelajaran penting yang dapat diambil dari pengalaman venture capital. Venture capital pada hakekatnya tidak berbeda secara substantif dibandingkan dengan musyarakah. Pengalaman di banyak tempat dan banyak negara, termasuk negara maju, membuktikan betapa besar dan pentingnya peran yang disumbangkan oleh jenis usaha venture capital ini pada pengembangan usaha dengan basis yang lebih adil, dibandingkan praktik perbankan konvensional.

Sudah umum diketahui, betapa sejumlah perusahaan kaliber dunia seperti Microsoft dan Macintosh computer memulai usahanya dengan bekerjasama modal bersama perusahaan Venture Capital. Di dunia barat pada umumnya, cukup tinggi pengakuan akan peran dan kontribusi jenis perusahaan Venture Capital sebagai mitra usaha dalam permodalan. Terbukti kemudian bahwa usaha yang dibantu seperti Microsoft dan Macintosh melejit menjadi perusahaan raksasa kaliber dunia, dan usaha-usaha jenis Venture Capital tetap bisa survive dalam posisi mereka sebagai perusahaan mitra modal.

Seperti diungkapkan di muka, bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan substansi antara praktik venture capital dan musyarakah. Oleh karena itu, mestinya perlu menjadi pertanyaan dan pelajaran bagi dunia perbankan syariah, mengapa hal ini tidak dijadikan insipirasi, sehingga salah satu kelemahan perbankan syariah dalam “potofolio produk” dan sekaligus rendahnya peran bank syariah dalam mendorong pertumbuhan sektor riel dapat diatasi. Di sisi lain, memperbesar porsi musyarakah dapat pula memberikan potensi keuntungan yang jauh lebih besar bagi bank syariah

Alternatif Solusi
Bila tida ada sebuah terobosan yang berarti, maka dengan kondisi yang sekarang terjadi, rasanya sulit mengharapkan perubahan yang berarti dalam portofolio perbankan syariah. Dalam jangka panjang, kinerja bank syariah tidak akan banyak berbeda dengan apa yang sekarang terjadi, dan bukan tidak mustahil, pada gilirannya perbankan syariah akan mengulangui kegagalan perbankan konvensional.

Dalam sebuah kesempatan diskusi kecil antara penulis dan seorang bankir syariah, terungkap salah satu masalah “besar” yang dikeluhkan ketika harus memperbesar porsi portofolio musyarakah itu. Sang bankir menyatakan betapa bank syariah akan kerepotan bila dalam musyarakah, pihak bank juga harus memberikan kontribusi ketrampilan stafnya. Bukankah ini sebuah dilemma juga bagi bank syariah.

Dikisahkan lebih jauh oleh bankir tersebut bahwa, ketika sebuah aqad musyarakah disepakati, dan bank harus “menanam” orangnya dalam proyek tersebut, untuk – katakan – masa tiga tahun, maka selama tiga tahun tersebut, bank harus merelakan dirinya kekurangan satu tenaga ahli. Lalu, bagaimana kalau dalam satu tahun bank tersebut melayani 100 atau lebih aqad musyarakah?

Keluhan sang bankir tentu dapat dimaklumi, dan dipahami sebagai salah satu kendala besar dalam memperbesar portofolio musyarakah. Namun, menurut hemat penulis, dibalik masalah ini, justru lahir sebuah peluang besar dan menjanjikan.

Berpijak – misalnya – pada rencana dan komitmen bank syariah untuk memperbesar portofolio musyarakah, sebagai jawaban pada masalah besar yang diungkap pada awal makalah ini, maka dapat didirikan sebuah perusahaan jasa penyedia jasa keahlian. Dalam hal ini, bank syariah dapat ikut memiliki saham secara kolektif, ataupun individual. Perusahaan baru ini, sangat mungkin didirikan, karena berbagai pertimbangan berikut ini:

Pertama, tersedianya banyak tenaga ahli dengan berbagai pengalaman di berbagai sektor industri. Akibat deraan krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis multi dimensi, telah puluhan atau mungkin ratusan ribu orang yang harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK besar-besaran ini tidak harus dilihat bahwa mereka tidak mempunyai kompetensi manajerial. Mereka yang mengalami nasib PHK adalah potensi tenaga manajerial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan pasar musyarakah.

Bank yang melakukan akad musyarakah tidak perlu lagi menugaskan karyawannya sendiri untuk ikut dalam manajemen proyek musyarakah tersebut, tetapi cukup merekrut tenaga profersional yang dapat disewa atau dikontrak dari perusahaan jasa profesional yang akan didirikan ini.

Kedua, pendirian perusahaan penyedia jasa profesional tidak memerlukan investasi terlalu besar dan manajemen yang rumit. Tugas perusahaan ini hanyalah menghimpun kaum profesional yang memerlukan pekerjaan dan menyalurkan mereka ke berbagai proyek pembiayaan musyarakah yang akan atau sedang dilakukan oleh bank syariah. Beban yang timbul akibat rekruting ini dapat dijadikan sebagai bagian dari biaya proyek atau pembiayaan musyarakah.
Banyak manfaat yang dapat diharapkan dari pendirian perusahaan seperti ini, antara lain yakni:

Pertama, membuka peluang kerja bagi tenaga profesional yang selama ini belum berhasil mendapatkan pekerjaan, baik karena mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja, maupun yang baru tamat dari pendidikan.

Kedua, membuka peluang bank syariah untuk memperbesar porsi produk musyarakah. Kalau selama ini mungkin ada kekhawatiran bahwa bank akan kehabisan stock tenaga kerja internal akibat harus bertugas dalam proyek musyarakah dengan para nasabah, maka hal itu tidak perlu lagi terjadi, karena dapat dilakukan outsourcing dengan cara mengontrak para manajer profesional sesuai dengan bidang keahlian dan latar belakang pengalaman masing-masing. Para profesional itulah yang akan bekerja pada proyek pembiayaan musyarakah atas nama bank syariah, selama proyek berlangsung.

Ketiga, bank dapat melakukan penghematan atau terhindar dari munculnya beban tetap (fixed cost) kalau bank melakukan oursourcing tenaga ahli dengan sistem kontrak. Bank tidak perlu biaya rekruting yang mahal dan biaya pembinaan serta mungkin berbagai beban tetap yang bersifat jangka panjang lainnya. Begitu kontrak musyarakah diakhiri, bank syariah cukup mengembalikan tenaga ahli tersebut kepada perusahaan induknya lagi.

Keempat, manfaat yang paling penting adalah bahwa produk musyarakah semakin membesar dan diharapkan memberikan multiplier effect secara lebih makro. Misalnya: nasabah – dengan pembiayaan musyarakah dapat membesar skala usahanya, membesarnya usaha nasabah berpeluang menambah laba yang berujung pada sedikitnya dua hal, yakni makin sejahteranya stakeholder perusahaan itu, dan makin besarnya dana zakat yang dihasilkan akibat terjadinya tambahan income. Selain itu, pembesaran usaha juga menciptakan lapangan kerja baru, atau mengurangi tingkat pengangguran. Berkurangnya pengangguran akan berakibat lebih sejahteranya masyarakat dalam arti luas: finansial ekonomis dan munculnya rasa lebih aman atau berkurangnya tingkat kriminalitas.

Kelima, dengan membesarnya produk musyarakah yang notabene berkaitan erat dengan sektor riel, maka selain terjadi nilai tambah ekonomis dalam kegiatan masyarakat sehari-hari, maka terjadi pula keseimbangan sektor keuangan dan sektor riel, yang pada gilirannya membuat gerakan ekonomi menjadi lebih solid dan lebih sehat.

Ikhtitam
Allah Maha Adil dengan menciptakan semua jenis makhluq berpasang-pasangan: siang – malam, kecil – besar, tinggi – rendah, laba – rugi, pria – wanita, tua – muda dan seterusnya. Perubahan-perubahan yang terjadi antara dua pasangan itulah membuat alam menjadi dinamis bergerak dari waktu ke waktu. Pergerakan akan menjadi nyaman bilamana ada keseimbangan yang dinamis antara dua pasang makhluk itu, dan sekaligus akan terjadi gerakan dinamis yang sangat tidak nyaman bila dua makhluk berpasangan mengalami ketimpangan luar biasa.

Belajar dari hal di ataslah, maka perlu mencintakan keseimbangan misalnya antara sektor keuangan (finance) dan sektor riel. Munculnya krisis monoter dan krisis ekonomi sejak tahun 1997 antara lain adalah karena adanya ketidak seimbangan pembangunan dan pengembangan ekonomi pada masa itu dan sebelumnya. Sulit disangkal bahwa terjadi pengembangan sektor finance yang luar biasa dan sekaligus tertinggal jauhnya sektor riel. Diantara akibatnya adalah terjadinya krisis tersebut. Tidak mudah pula untuk menyangkal bahwa perkembangan sektor keuangan yang luar biasa juga dipicu oleh sistem kapitalisme yang melanda dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Belajar dari kasus itulah, seyogyanya semua pihak belajar untuk tidak terjebak pada lobang yang sama dua kali.
Apa yang ditawarkan makalah ini, sebagiannya adalah upaya untuk mengambil hikmah dari pelajaran penting ketidakseimbangan itu. Entah kebetulan entah tidak, gejala sementara yang ditunjukkan oleh gerakan ekonomi Islam yang dimotori oleh perbankan syariah menunjukkan gejala yang sama, ketika porsi murabaha mendominasi portofolio perbankan syariah. Semogalah pemikiran sederhana ini dapat menjadi penawar atas masalah ekonomi yang dapat terjadi lagi, bila melihat trend yang ada sejauh ini.

WaLlahu a’lam bisshowab.


Daftar Pustaka

Adnan, M. Akhyar. 2003. “Perkembangan Gerakan Ekonomi Islami” Orasi Ilmiah, disampaikan dalam rangka Milad ke 60 Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Agama, Departemen RI, 19?? “Al-qur’an dan Terjemahan
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2002. Perbankan Syariah, Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia).
Bank Indonesia. 2004. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2004.
Mujiyanto. 2004. “Optimisme Perbankan Syariah” Modal, 15/II, Januari 2004, 14-5.
Tohirin, Ahmad [2003] “Mewujudkan Sistem Ekonomi Islami di Indonesia”, makalah yang belum diterbitkan.
Vogel, Frank E dan Hayes, III Samuel L. 1998. Islamic Law and Finance, Relgion, Risk and Return (The Hague: Kluwer Law International)

oleh: Akhyar Adnan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar