Senin, 18 Januari 2010

Ekonomi Islam dan Pasar Bebas

Oleh : Suwardi*
Pembentukan blok perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) telah menjadi fenmena dunia yang tidak terelakkan. Sebagai satu kmunitas yang dinamis, ASEAN (Association South of Asean Nation) pun tergerak untuk membentuk blok kerjasama FTA. Salah satu blok perdagangan bebas terpenting yang akan dijalankan ASEAN pada I Januari 2010 mendatang, antara ASEAN dengan Tiongkok.
Menyepakati blok perdagangan bebas adalah pilihan yang paling rasional bagi kedua belah pihak. Bagi ASEAN, Tiongkok adalah fenmena mencengangkan abad ini. Tehun ini, Tiongkok menggeser kekuatan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor dua dunia. Hal ini terjadi hanya dua tahun setelah Tiongkok melampaui jerman sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga dunia.
Namun, dibalik manfaat yang akan diterima oleh negara-negara ASEAN sebagian kalangan masih enggan untuk menerima sistem perdagangan bebas yang segera dilaksanakan beberapa hari mendatang. Dan apa sebenarnya yang menjadi permasalahan tersebut? Dan bagaiamana Islam memandang sistem perdagangan bebas yang menjadi salah satu mainstream ekonomi kapitalis?

Mekanisme Pasar Bebas
Pasar bebas yaitu pasar sistem di mana setiap rang dibiarkan memilih pekerjaan sendiri sesuai keinginannya dan setiap rang dibiarkan menggunakan pengetahuan dan ketermapilannya untuk mencapai tujuan masing-masing. Tokoh peletak dasar konsep ini adalah Adam Smith yang lahir di Kirkcaldy, pada tanggal 5 Juni 1723 di kota kecil dekat Edinburg, Skonlandia.
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah ketika melakukan kegiatan ekonomi, seseorang berbuat untuk kepentingan diri sendiri bukan orang lain. Dalam konsep kebebasan ini terkandung makna keadilan komutatif yang menampilkan diri sebagai penghargaan atas perdagangan bebas sebagai mekanisme alamiah yang menyelaraskan perilaku manusia. Dalam knteks ini, keadilan komutatif lebih mempunyai makna sebagai tidak mencampuri kepentingan dan urursan orang lain. Dalam keadilan ini pula berlaku prinsip laissez-faire.
Smith sangat mendukung prinsip (motto) laissez faire yang menghendaki campur tangan pemerinah seminimal mungkin dalam pereknomian. Karena jika banyak campur tangan pemerintah, akan terjadi banyak distorsi, yang akan membawa perekonomian pada tersebut pada inefficincy dan inekuilibrium.
Titik tolak dari teori (laissez-faire) ini adalah anggapan setiap pelaku dalam perekonomian bertindak secara rasional dan ekonomis. Teori ini mendasarkan pada dua asumsi yakni pertama, setiap pelaku ekonomi mengetahui setiap kejadian di pasar dari waktu ke waktu. Kedua, mereka mempunyai mobilitas tinggi sehingga dengan mdah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
Menurut para ahli, yang mendukung teri laissez-faire ini, apabila pemerintah tidak menjalankan campurtangan dalam kegiatan perekonomian itu artinya segala sesuatunya ditentukan oleh mekanisme pasar, maka perekonomian akan berkembang optimal dan selalu tercapai tingkat kesempatan kerja penuh. Akhirnya akan menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang maksimal. Akan tetapi konsep laissez-faire yang diusung oleh Smith tidaklah berjalan mulus.

Kerapuhan Laissez-faire
Teori ini mulai diragukan ketika Perang Dunia I berakhir. Ketika itu negara-negara Eropa menghadapi masalah politik, sosial dan ekonomi yang rumit, sehingga perekonomian pun menjadi tidak satabil. Terjadi tingkat pengangguran yang tingga sehingga alat-alat produksi tidak dapat digunakan secara optimal. Puncaknya adalah ketika terjadi depresi, seperti depresi di akhir abad ke 19, Depresi Besar di tahun 1930, resesi di tahun 1970-an, 1990-an.
Menurut para pendukung pasar bebas, semua kejadian tersebut sebenarnya lumrah karena disebabkan oleh perputaran bisnis yang berulang (cyclical business cycle). ekonom Austria Joseph Schumpeter menerangkan bahwa perputaran bisnis Juglar memerlukan 4 tahapan: 1) ekspansi (peningkatan produksi), 2) krisis (ambruknya pasar, 3) resesi (jatuhnya harga, tingginya suku bunga), 4). Kebangkitan.
Maka, para pendukung pasar bebas menyatakan bahwa terjadinya perubahan waktu dan sifat alami dari semua aktifitas ekonomi yang harus melalui berbagai fase. Karenanya, setiap terjadi keambrukan, kelesuan, dan resesi para pendukung pasar bebas menyalahkan alam yang telah menciptakan kondisi terjadinya perputaran bisnis (business cycle).
Sehingga orangpun mulai tidak percaya terhadap konsep laissez-faire ini, yang harus membebaskan sistem pasar dari campur tangan pemerintah. Sejak saat itu berkembanglah teori ekonomi yang lebih mencerminkan keadaan masyarakat yang sebenarnya, yang dipelopori oleh Keynes melalui bukunya :The General Thery of Employment, Interest and Money.

Konsep Islam
Menurut sistem ekonomi kapitalis, yang menghendaki tidak adanya peran negara dalam perdagangan (laissez-faire). Sehingga pasar dapat berjalan sebagaimana adanya, tanpa harus ada kendali dari pemerintah.
Islam memandang bahwa tanggung jawab pemerintah bukan terbatas pada keamanan dalam negeri dan sistem keamanan yang mempnyai kekuatan antisipatif dari serangan luar, tapi tanggung jawab pemerintah ini harus menjadi bagian dari prgram menuju masyarakat ideal.
Mekanisme pasar, regulasi dan moral harus ada dalam satu kesatuan pemikiran. Dengan hanya moral, boleh jadi belum mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan masyarakat. Oleh karena peran efektif dari negara sebagai mitra, katalisatr dan fasilitatr, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan yang susungguhnya.
Perhatian pada pentingnya peran negara telah dicerminkan oleh tulisan ulama-ulama terkemuka sepanjang sejarah. Al-Mawardi misalnya, telah menyatakan bahwa keberadaan pemerintah yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah kezaliman dan pelanggaran. Sedangakan Ibnu Taymiyah pun menekankan Islam dan negara mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Proses implementasi syariah tidak akan mungkin tanpa adanya negara yang memainkan peranan penting dan negara mungkin akan terpuruk dalam pemerintahan yang tidak adil. Demikian pula Baqr al-Sadr mengatakan bahwasanya intevensi pemerinah dalam ruang lingkp kehidupan ekonomi adalah penting dalam menjamin keselarasan dengan norma-norma Islam.
Seluruh usaha negara untuk menjamin kesejahteraan, keadilan dan aturan main yang adil dalam seluruh aktivitas kehidupan dicerminkan dalam institusi hisbah. Institusi hisbah ini tidak hanya memungkinkan pasar berperasi secara bebas dan membuat harga, serta keuntungan ditentukan oleh kekuatan supply dan demand, tetapi pada saat yang sama juga menjamin semua pranata ekonomi telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan telah mematuhi aturan syariat.
Dengan demikian negara tidak perlu ragu-ragu untuk mengintervensi manakala ambang pintu keadilan terlewati dan tidak ada lagi justifikasi untuk menunggu kekuatan pasar memperbaiki pelanggaran tersebut dengan sendirinya. Namun perlu disadari intervensi itu sendiri tidak bleh semena-mena, karena jika itu terjadi, pada akhirnya juga akan menimbulkan ketidakadilan. Wallahu a’lam

* Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam Tingkat Akhir Fakultas Syariah IAIN STS Jambi. Dan kini menjabat sebagai Wakil Direktur dan Peneliti pada FISTaC (Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar