Jumat, 18 Desember 2009

Prasmanan HAM

Prasmanan HAM
Oleh : Suwardi*

Hak Asasi Manusia dalam Kamus Bahasa Indonesia memberi pengertian secara etimologis. Secara Etimologis, hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah kata dalam bahasa Indonsia. Kata Haqq terambil dari akar kata Haqqa, yahiqqu, haqqan, artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Apabila dikatanakan Yahiqqu ‘Alaika an Taf’ala kadza, itu artinya “Kamu wajib melakukan seperti ini.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq adalah kewenangan atau kewajiban melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan, arrtinya membangun, mendirikan, meletakkan. Dapat juga berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan demkian, asasi artinya segala sesuatu yang mempunyai sifat yang sangat mendasar dan sangat fundamental. (Ibrahim Anis, Mu’jam al- wasith, juz I (Beirut; Dar al-fikri, tt), h. 1815 Sedangkan menurut kamus Besar Bahasa Indonesa memberi arti Hak asasi Manusia (HAM) sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia.
Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Disini tonggak deklarasi universal mengenai hak asasi manusia yang mengakui hak setiap orang diseluruh dunia. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal, nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang.

Historitas HAM
Sejarah awal hak asasi manusia di barat berkembang sejak tahun 1215 yaitu dalam Magna Charta yang berisi aturan mengenai tindakan dan kebijakan negara supaya tidak berjalan sewenang-wenang. Isi dari Magna Charta ialah bermaksud untuk mengurangi kekuasan penguasa. Yang dimulai dari perjuangan tuan tanah dan gereja untuk membatasi kekuasaan raja dan para anggota keluarga. Pada periode awal ini hubungan antara isi dasar HAM adalah mengenai (hubungan) antara anggota masyarakat yang berada dibawah kekuasaan yang diatur kebendaanya.
Sekelompok tuan tanah dan ksatria menggalang kekuatan dan mereka berhasil mendesak raja untuk tidak lagi memberlakukan tindakan penahan, penghukuman dan perampasan benda benda secara sewenag-wenang. Raja Jhon terpaksa menyetujui tuntutan ini dengan memberikan cap pengesahan yang berlangsung pada juni 1215 di Runnymede, sebuah padang rumput di pinggir sungai Thames. Isi dari Magna Charta ini ada tiga. Pertama, raja dilarang menarik pajak sewenang wenang. Kedua, pejabat pemerintah dilarang mengambil jagung dengan tanpa membayar. Ketiga, tidak seorang pun dapat dipenjara tanpa saksi yang jelas. Pengesahan ini menjadi dokumen tertulis yang pertama tentang hak-hak tuan tanah, gereja, ksatria dan orang merdeka atau orang sipil yang belum menikmati kebebasan.
Berlanjut setelah keberhasilan tuan tanah, bangsawan dan orang merdeka untuk memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan raja membangkitkan kesadaran diberbagai kalangan masyarakat terhadap pentingnya hak-hak untuk dihormati dan dilindungi. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka kepada raja. Mereka mencetuskan Petition Of Right. Yang menuntut sebuah negara yang konstitusional, termasuk didalamnya fungsi parlemen dan fungsi pengadilan. Jhon locke (1632-1704) bersama lord Ashley merumuskan tuntutan bagi toleransi beragama. Selain itu, juga menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak data dicabut seperti hak untuk hidup, kemerdekaan hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan.
Salah satu karya Locke yang terkenal ialah second treaties on civil government yang berisi mengenai negara atau pemerintah harus berfungsi untuk melindungi hak milik pribadi. Pemerintah dibentuk guna menjamin kehidupan, harta benda dan kesejahteraan rakyat. Gagasan locke ini sesuai dengan perkembangan didalam masyarakat inggris yang mulai berubah dari nehgara kerajaan yang absolut-inkonstitusinal menuju kerajaan yang konstitusional.
Pada 1653 instrument of government berhasil didesakkan. Pembatasan kekuasaan raja semakin dikukuhkan dengan lahirnya Habeas Corpus Act pada Mei 1679. Lonceng kebebasan terus berdentang dan pada 16 desember 1689 Bill Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil membebaskan diri dari kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk parlemen yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan raja. Itulah sekilas sejarah awal dari HAM yang berkembang di barat khususnya yang berkembang diwilayah Inggris.

Normativisme HAM
Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara local.
Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi Prancis, yakni persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi latar belakang kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia di wilayahnya berbeda-beda. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Keanekaragam kebangsaan dan suku bangsa atau etnisitas.
Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksudnya adalah penyelesaian sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini dimaksudkan agar hukum tidak memihak pada suatu golongan. Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak meihak pada salah satu pihak. Pemihakan hanyalah pada norma-norma ham itu sendiri.

‘A la Carte HAM
Dalam konteks kedisinian HAM pada dasarnya tidak mengalami kemunduran, tetapi bermetamorfosa menjadi lebih individuaistik. Sifat dari metamorfosa itu sendiri sebagai pergeseran dari pola makna HAM sebagai makna lengkap yang utuh menjadi ‘a la carte atau prasmanan.
Di situ setiap individu berhak memilih kebesan atau irama pembebasan atas nama hak asasi yang sangat mereka nikmati. Dalam mkna lain, kecenderungan tersebut menyerupai penyikapan terhadap hidangan makanan prasamanan.
Secara primordial, HAM bagi tiap-tiap individu adalah prasamanan. Bahkan setelah menu baku diracik para koki HAM, mustahil unsur-unsur prasmanan akan hilang. Sejak beberapa tahun terakhir, orang-orang mulai openship menyatakan keprasmanan tersebut bagi diri dan kelompoknya.
Akibat dari pergeseran makna HAM menjadi ‘a la carte tersebut HAM menjadi ideologi dan agama baru dalam aktivitas plitik manusia di kancah internasinal. Atas kaidah (‘a la carte) tersebut, orang memiliki kebenaran HAM atas penafsiran defenisi tersebut menjadi “kitab suci” baru bagi para mufassir HAM.
Realitas penafsiran itu dapat dilihat dari pembantaian warga Lebanon dan Palestina oleh Israel (la’natullah alaih). Ekspansi yang brutal oleh Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Bahkan menjelang peringatan hari HAM kali ini presiden Barack Obama kembali mengirim 30.000 pasukan ke Afghanistan, kebijakan ini diambil dengan dalih meindungi Hak Asasi warga Afghanistan atas “teror” Thaliban. Sebuah penafsiran yang inkonstitusinal.
Tidak hanya itu, saat ini semua orang merasa bebas mengekspresikan apa saja, walaupun asusila sekalipun. Seakan HAM hanya berporos menjadi makna kebebasan “absolut” semata. Pelaku asusila mempraktikan perilaku asusilanya, para intelektual bebas berargumen walaupun melanggar aturan permanen agama. Semua itu mereka katakan sebagai bagian dari kebebasan HAM.
Tapi karena selalu tersedia pasar dahaga “kebebasan”, para makelar HAM akan terus ada. Para makelar inilah yang terus memupuk kepercayaan, bahwasanya kebebasan beraktivitas merupakan hak asasi yang sangat dilindungi meskipun harus bertentangan dengan norma Agama. Akhirnya, mereka menyendok hidangan prasmanan HAM-nya secara liberal-individualistis tanpa harus melihat hak individu lain yang perlu dilindungi juga menghapus nilai-nilai nrmativisme HAM. Oleh karena itu kita harus kembali kepada makna HAM yang utuh bukan dalam bentuk ‘a la carte. Wallahu a’ lam.
Peneliti FISTAC (Forum of Islamic Study Thought and Civilization)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar