Jumat, 18 Desember 2009

Hijrah dan Spirit Reformasi Ekonomi

Hijrah dan Spirit Reformasi Ekonomi

Oleh : Suwardi*

Salah satu peristiwa penting dalam perkembangan sejarah Islama dalah peristiwa hijerah Nabi Muhammad saw yang dilakukan pada tanggal 16 Juli 622 M/ 2 Rabial awal 1H. Hijrah sendiri secara leksikal berarti berpindah tempat. Sedangkan secara syar’i para fuqaha mendefenisikan hiojrah sebagai keluar dari darul kufur ke darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyah 11/276). Defenisi hijrah seperti ni diambiol dari fakta sejarah Hijrah Nabi saw sendiri dari Makkah (yang saat itu darul kufur) ke Madinah (kemudian menjadi Darul Islam).

Pelaksanaan Hijrah oleh Nabi saw sendiri memiliki dua makna yakni secara teologis dan secara sosiologis-historis. Secara teologis, hijrah yang dilakukan oleh Nabi merupakan perintah langsung dari Allah kepada Nabi, dimana Allah berperan dalam menyiapkan, dan merencanakan, serta memberikan perlindungan kepada Nabi (Q.S. 8: 30). Sedangkan secara sosiologis-historis, Hijrah dilaksanakan sebagai upaya untukn keluar dari tekanan yang dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy menuju kepada tatanan masyarakat yang berperadaban berkeadilan, penghargaan HAM, demokratis dan menjunjung supremasi hukum dalam bingkai syariah Islam, yang akhirnya terwujud dalam bentuk negara madani yang modern (Robert N. Bellah. 1976).

Apabila kita cermati secara filsofis-teologis, sesungguhnya Hijrah mengandung makna perubahan dan reformasi yang luar biasa. Salah satu reformasi yang perlu dilaksanakan adaalah reformasi di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan sistem ekonomi kita digenggam oleh sistem ekonomi ribawi (al-Iqtishadiyah ar-ribawiyah). Oleh karena itu kita harus keluar dan menuju tatanan ekonomi baru yakni ekonomi syariah (al-Iqtishadiyah ai-Islamiyah), yang lebih berkeadilan, bebas dari unsur pembungaan uang.

Pelarangan Bunga

Harus dipahami bahwasanya larangan riba (usury/bunga) yang menjadi jantung sistem ekonomi Islam bukan saja terdapat dalam ajaran Islam, tetapi juga larangan pembungaan uang terdapat dalam agama-agama lainnya, seperti nasrani dan Yahudi.

Pandangan Yahudi mengenai buinga teradapat dalam Kitab Perjanjian Lama Pasal 22 Ayat 25 yang berbunyi “jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku yang miskin di antara kamu, janganlah kamu berlaku seperti penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup di antara mu.” Dalam kitab Deutoronomy, Pasal 23 Ayat 19 antara lain disebutkan “janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik bunga uang maupun bahan makanan, ataupun yangd apat dibungakan.”

Begitu juga dalam kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 Ayat 7 juga menyebutkan “Janganlah engaku mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut dengan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engaku memberi kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau beriakn dengan meminta riba.”

Pandangan Agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam Injil Lukas Ayat 34 disebutkan. “Jika kamu mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu…….” Tidak hanya itu, para filosof Yunani juga mengecam sistem bunga. Sejarah mencatat, bangsa Yunani Kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang peminjaman uang dengan bunga.

Aristoteles dalam karyanya, Politics, telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional-filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai sistem bunga tidak adil. Sementara itu, Plato (427 – 345 SM) dalam bukunya LAWS, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktik yang zhalim.

Begitu juga dengan Islam, sebagai Agama Langit yang terakhir diturunkan, lebih keras mengecam dan mengutuknya (praktik riba/pembungaan uang). Sebagaimana terdapat dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat 275 menyatakan “orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan…..”

Implikasi Bunga

Dari konsep atau alasan pelarangan bunga oleh agama-agama dan para filsuf tersebut di atas bukan tidak memiliki alasan yang kuat terhadap fatwa-fatwa pelarangan riba/pembungaan uang. Sebab, bunga dapat menciptakan inflasi dan kondisi ekonomi yang tidaks tabil serta bisa mengakibatkan bengkrutnya sektor produktif dan menciptakan pengangguran.

Implikasi dari penerapan sistem bunga sudah dirasakan Indonesia ketika dihantam krisis pada akhir tahun 1997. Akibatnya utang pemerintah dan swasta meumpuk pada waktu itu. Sejumlah resep pun diberikan IMF. Namun, bukan kesembuhan yang dialami ekonomi nasional, justru keterpurukan yang dialami rakyat Indonesi. Di sektor perbankan, sebelum ataupun pascakrisis ekonomi, menunjukkan bank-bank konvensional di Indonesia yang menerapkan sistem bunga telah gagal dalam menjalankan fungsi intermediasinya.

Hal itu terlihat dari banyaknya bank konvensional yang collaps karena virus negative spread pada saat Indonesia dilanda krisis ekonomi berkepanjangan. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah Indonesia melakukan reformasi ekonomi secara kaffah.

Reformasi Ekonomi

Pasca hancurnya Sosialisme-Komunis, menyusul runtuhnya kekaisaran Uni Soviet pada awal 1990-an, Kapitalisme yang dimotori AS tampaknya berjaya. Alasanya, AS yang menjadi satu-satunya negara superpower di dunia ini, ingin memaksakan kehendaknya ke negara lain agar menganut kepitalisme liberal-isme.

Namun ternyata, awal 2008 lalu mulai terlihat kapitalisme semakin goyah dan menunggu kehancurannya. Puncaknya adalah terjadi krisis keuangan global yang dimulai dari negara adidaya (AS) tersebut.

Krisis ekonomi global menunjukkan kapitalisme dan liberalisme yang ribawi sudah collaps. Hal ini dibuktikan dengan hancurnya lembaga keuangan Perbankan konvensional yang menerapkan sistem riba/bunga dalam transaksinya. Karenanya perlu mereformasi sistem keuangan (perbankan) dari konvensional menuju sistem keuangan (perbankan) syariah, yang pernah diterapkan oleh Nabi saw.

Namun, ada tiga hal mendasar yang harus mendapat perhatian, jika ingin menerapkan (ekonomi islam) dalam konteks Indonesia kontemporer. Ketiga hal tersebut adalah landasan filosofis, prinsip operasional, dan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah sistem ekonomi.

Secara filosofis, sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang diabangun di atas nilai-nilai Islam, yakni dengan mengedepankan prinsip Tauhid (nilai-nilai Ilahiyah) menjadi “jantung” dari sistem ini. Ekonomi bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah bagian kecil dari bingkai ibadah keapda Allah swt. Oleh karena itu mengadopsi nilai-nilai moralitas Islam dalam sistem ekonomi kita merupakan syarat mutlak untuk membangun Indonesia yang kuat.

Kemudian prinsip utama pada tataran operasional adalah prinsip keadilan (al-adl). Jika mekanisme pasar berjalan dalam bingkai keadilan, maka intervensi pemerintah tidak diperlukan. Sistem ekonomi Islam juga menjamin keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan distribusi. Selama ini ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Tingginya pertumbuhan tidak otomatis menjamin adilnya distribusi pendapatan. Di sinilah Islam menganjurkan ummatnya untuk bekerja dan mendistribusikan sebagian pendapatannya kepada yang berhak melalui zakat, infak dan shadaqah.

Penutup

Momentum tahun baru Islam 1431H ini hendaknya memberikan spirit Hijrah ekonomi (hijrah iqtishadiyah) kepada pemerintah Indonesia untuk segera hirah dari belenggu ekonomi kapitalistik-ribawi (fiqrah al-Iqtishadiyah ar-ribawiyah) kepada ekonomi Islam (fiqrah al-Iqtishadiyah al-Islamiyah). Karena menurut Imam al-Jashas sistem fiqrah al-Iqtishadiyah ar-ribawiyah sudah dibatalkan dan diharamkan oleh Allah swt sejak Islam datang.

Sistem ekonomi/ keuangan (perbankan) konvensional yang menerapkan bunga terbukti telah membawa bencana kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan. Krisis finansial yang telah dan sedang terjadi membuktikan sistem ekonomi ini tidak dapat mensejahterakan ekonomi manusia secara adil, sebaliknya, membawa kepada kehancuran sistem ekonomi dan kesenjangan di berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, lembaga keuangan (perbankan) konvensional telah menguras APBN setiap tahun dalam jumlah ratusan triliun dalam bent uk bunga obligasi dan suku bunga SBI, kasus BLBI yang menyedot uang negara lebih dari Rp. 650 Triliun. Kemudian kasus yang tidak kalah menghebohkan argumentasi politik kita, yakni masalah pengucuran dana baillout untuk century yang menghabiskan dana rakyat sebesar Rp. 6,7 Triliun. Inilah fakta yang sangat memilukan dan menambah daftar sejarah hitam dan kesengsaraan rakyat indonesia.

Jika sudah demikian halnya, sudah saatnya kita berhijrah menuju kepada sistem keuangan (perbankan) syariah yang lebih berkeadilan dan menuju kesejahteraan yang hakiki. Wassalam

*penulis adalah Peneliti Muda pada FISTAC (Forum of Islamic Study Thought and Civilization)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar