Jumat, 18 Desember 2009

Bai As-Salam

BAI’ SALAM;

TELAAH KOMPARATIF TERHADAP TRANSAKSI SALAM
DAN APLIKASINYA DALAM KONTEKS KEKINIAN
oleh : Suwardi

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Makalah yang sekarang ada di tangan pembaca, awalnya dilatarbelakangi oleh tugas yang diamanatkan kepada penulis. Seterusnya, pembahasan tentang transaksi salam ini menjadi urgen disebabkan oleh beberapa hal. Pertama; salam atau pesanan merupakan salah satu bentuk jual beli yang umum digunakan oleh masyarakat kita, dan sebagian besar pelaku transaksi tidak mengetahui syarat dan rukunnya sesuai konsep yang diajarkan Islam. Kedua; praktek salam dalam muamalah umat dewasa ini telah banyak keluar dari konteks salam sebagaimana yang diajarkan para ulama terdahulu. Kemajuan teknologi misalnya, menjadi salah satu penyebab utama hal ini. Syarat pelaku transaksi yang mesti berhadapan dalam satu majelis, dengan sendirinya sering terabaikan, sebab banyak sarana yang memungkinkan manusia berkomunikasi jarak jauh, dan seterusnya. Ketiga; perbankan Islam yang sedang marak digalakkan mempraktekkan salam dalam bentuk berbeda. Praktek salam paralel dan praktek jual beli lain yang terlahir dari salam belum sepenuhnya disepakati oleh para ulama. Perlu adanya pengenalan terhadap model transaksi ini, berikut aplikasinya dalam perbankan Islam.
Judul yang kami pilih adalah Bai’ Salam; Telaah Komparatif Terhadap Transaksi Salam dan Aplikasinya dalam Konteks Kekinian. Sesuai judulnya, makalah ini akan mengantarkan pembaca mempelajari praktek salam dengan sedapat mungkin mengetengahkan pendapat berbagai madzhab fiqh dalam persoalan yang belum disepakati, kemudian mempersilahkan pembaca membandingkan antara satu dan lainnya. Metode ini sengaja kami pilih karena metode tersebut menurut kami lebih cocok untuk mengenalkan salam pada masyarakat akademis; mahasiswa Al Azhar.
Berangkat dari keinginan untuk ikut memberikan andil dalam menyelesaikan permasalahan umat, memberikan pencerahan juga sebagai pengembangan wawasan keislaman, kami berusaha semaksimal mungkin menghadirkan makalah sederhana ini, sebagai pengantar kajian tentang praktek salam.

Rumusan Persoalan
Praktek salam yang terjadi di kalangan masyarakat muslim secara umum tidak lagi memenuhi rukun dan syarat salam sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama. Umat Islam kebanyakan tidak mengetahui dan tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu aturan-aturan baku yang telah ditetapkan agama dalam urusan muamalah. Seterusnya, perkembangan zaman telah melahirkan persoalan baru dalam fiqh yang menuntut untuk segera disikapi. Banyak syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh ulama berdasarkan ijtihad mereka tidak lagi relevan dengan masyarakat modern. Sementara itu para ulama hingga kini berbeda pendapat dalam penetapan rukun dan syarat salam. Seperti apa transaksi salam dalam Islam sebenarnya dan sejauh mana perbedaan pendapat di kalangan ulama terhadap persoalan ini.

Maksud dan Tujuan
Setiap kita, harus mengacu pada Al Quran dan Al-Sunnah serta mempelajari pendapat ulama ketika berusaha memahami suatu perkara. Sebab hanya dengan mengacu pada hal-hal tadi kita tidak terjebak pada hal-hal yang batil dan menyesatkan. Sebagai cendekiawan muslim sudah seharusnya kita mengkaji lebih jauh tentang setiap permasalahan umat dan berusaha memberikan solusi. Tujuannya tidak lain, demi menjaga kemurnian amal dan menambah wawasan keagamaan kita dalam bingkai takwa kepada Allah Swt.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa Itu Salam?
Untuk mengenal salam dan segala aspek yang berhubungan dengannya baik dari segi rukun, syarat, lengkap dengan perbedaan ulama dalam mendefinisikan dan menentukan rukun-syaratnya, berikut konteks salam dalam praktek modern, adalah dengan terlebih dahulu mengetahui apa itu salam.

1. Salam Dalam Sejarah
Transaksi salam telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Ketika Rasulullah tiba di Kota Madinah setelah Hijrah, beliau mendapati penduduk Madinah telah mengenal dan telah melakukan praktek salam ini. Salam yang menjadi pembahasan syariat dan termasuk dalam kategori muamalah, kemudian menjadi bagian dari hal-hal yang dibolehkan agama dengan terlebih dahulu menetapkan aturan-aturan baku yang mengatur dan menertibkannya.
Sekalipun pada praktek salam terdapat resiko negatif (gharar) karena ketiadaan barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi, tetapi Islam membolehkannya setelah melihat manfaat dan kebutuhan manusia yang besar terhadap hal ini. Para Ulama juga menyebut transaksi salam dengan ‘bai’ul mahawîj’ artinya, jual beli yang telah dihalalkan karena adanya ketergantungan dan saling membutuhkan. Pembeli membutuhkan barang yang diinginkannya dan penjual membutuhkan modal untuk membiayai usaha pengadaan barang atau untuk menafkahi keluarganya dan seterusnya. Hikmah inilah yang menjadikan praktek salam dikecualikan dari jual beli gharar yang dilarang.

2. Defenisi Salam:
Salam merupakan bentuk masdar dari kata aslama yang berarti mendahulukan modal. Secara etimologi salam juga diistilahkan dengan salaf (pinjaman tanpa bunga). Istilah salam digunakan oleh penduduk Hijaz, sedangkan kata salaf digunakan oleh penduduk Irak . Kata salam pada hakikatnya lebih khusus dibanding kata salaf, karena salaf digunakan dalam dua hal :
• Memberikan emas atau perak untuk membayar barang tertentu hingga batas waktu tertentu dengan menaikkan harganya dari harga yang ada. Bentuk yang dimaksud adalah salam
• Untuk qardh (pinjaman tanpa bunga).

Secara terminologi, salam berarti penjualan barang tertentu tetapi barang tersebut masih dalam tanggungan (ditangguhkan penyerahannya) dan modalnya (ra's al-mâl) dibayar pada saat transakasi. Atau dalam pengertian sederhana, salam adalah transaksi dimana modal dibayar di muka dan barang yang dibeli diterima belakangan, untuk satu jangka waktu yang tertentu .

B. Bagaimana Hukum Salam?
Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di kalangan para ulama tentang boleh tidaknya praktek salam ini dilakukan. Mayoritas ulama salaf maupun khalaf dari seluruh madzhab fiqh sepakat bahwa salam boleh dan disyariatkan oleh Allah Swt, baik dalam Al Quran maupun lewat penjabaran Nabi Muhammad Saw.
Satu-satunya dalil teks hadits yang digunakan oleh sebahagian ulama seperti Ibnul Musayyib dan lain-lain tentang pelarangan transaksi salam adalah hadits Rasulullah Saw. tentang pelarangan menjual sesuatu yang tidak kita miliki.
Nabi Muhammad Saw. bersabda dalam sebuah hadits beliau:
(لا تبع ما ليس عندك)
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada pada dirimu”.
Secara tekstual maupun secara maknawi, para ulama sepakat bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan penghalalan praktek salam, sebab larangan ini ditujukan pada praktek jual-beli sesuatu yang si penjualnya tidak memiliki dan tidak mampu mendatangkan barang yang dijualnya. Berbeda halnya pada persoalan salam. Si penjual pada praktek ini mampu mendatangkan dan mengadakan barang yang diminta pada waktu yang telah disepakati, sekalipun dia tidak memiliki barang tersebut pada saat aqad.

C. Dalil-dalil Seputar Kebolehan Praktek Salam
Diantara dalil-dalil yang menyebutkan kebolehan praktek salam sebagaimana yang disebutkan para ulama fiqh adalah sebagai berikut:

1. Dalil Al Quran:
}          {
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ibnu Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam dalam jaminan hingga waktu tertentu telah dihalalkan Allah dalam Al Quran.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.

2. Dalil Hadits:
Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Kota Madinah, Beliau mendapati penduduknya telah melakukan praktek salam; memesan barang untuk jangka satu sampai dua tahun. Rasulullah kemudian bersabda:

من أسلف في شيىء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم

3. Dalil Ijma’:
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa semua ulama’ sepakat bahwa salam hukumnya boleh dilakukan. Dalam Mausû’ah Al Um, Imam As Syafi’I Ra. berkata mengenai ijma’ ulama tentang kebolehan salam sebagai berikut:
“… Salaf/salam boleh sesuai sunnah Rasulullah Saw. dan atsar dan tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sebagaimana saya ketahui”.
D. Rukun dan Syarat Salam
1. Rukun
Rukun salam menurut Ulama Hanafiyah hanyalah lafadz aqad; ijab dan qabul. Mayoritas Ulama menambahkan dalam rukun: Al Aqidan (pelaku transaksi; terdiri dari penjual /Al Muslamu Ilaîh dan pembeli /Al Muslim), Al Muslamu fîh (barang dan tempat penyerahannya) dan Ra’sul mâl (modal atau harga pembayaran).

2. Syarat-syarat Rukun
Kalau kita mengklasifikasikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam transaksi salam sesuai rukun-rukunnya, kita akan menemukan bahwa setiap rukun yang ada harus memenuhi beberapa syarat tertentu, sebagai berikut:

1) Syarat Lafadz Aqad
Syarat yang harus dipenuhi dalam aqad salam dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama, syarat umum, mencakup syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap akad jual beli dan telah disepakati oleh para ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketersambungan aqad
b. Ijab dan qabul tidak digantung dengan syarat.
Contoh ijab yang digantung misalnya pembeli berkata; Bila Anakku sehat maka aku akan memesan darimu sebuah lemari es dan kau serahkan dua bulan lagi.
c. Kesesuaian antara lafadz qabul dan ijab.

Adapun syarat-syarat khusus pada lafadz aqad salam adalah sebagai berikut:
a. Ijab hanya boleh dengan menggunakan lafadz salam atau salaf menurut Ulama Syafi’iyah, dan tidak boleh menggunakan lafadz ba’I sebab terjebak pada jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’ Al ma’dûm). Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah boleh menggunakan lafadz salam, salaf atau jual beli biasa (بيع). Perbedaan ini kemudian akan melahirkan perbedaan hukum dalam menentukan boleh tidaknya barang diserahkan langsung saat aqad.
b. Tidak boleh terdapat syarat khiyâr.
Apabila barang telah didatangkan pada waktu yang telah disepakati maka tidak boleh ada khiyâr (memilih atau meminta ganti). Kecuali bila terdapat cacat dalam barang tersebut dan merusak sifat dan syarat yang telah disepakati.
c. Disebutkan tempat penyerahan barang bila tempat tersebut hanya dapat dijangkau dengan menggunakan biaya.
d. Disebutkan waktu penyerahan barang yang diketahui bersama. Menurut Malikiyah minimal 15 hari setelah akad terjadi.
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang wajibnya penyebutan waktu yang diketahui bersama, sebab teks Al Quran dan hadits dengan jelas menyebutkan hal ini. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh menyebutkan masa panen, awal musim gugur, hari kedatangan jama’ah haji, dsb. bila penjual dan pembeli berada pada kota yang sama. Sebab menurut Malikiyah, kata-kata tersebut termasuk dalam kategori waktu yang biasa digunakan dan dimaklumi. Mayoritas ulama tidak membenarkan pendapat ini. Mereka beralasan bahwa waktu-waktu tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti, dapat berubah-ubah, sehingga termasuk dalam kategori waktu yang tidak diketahui.
e. Menyebutkan sifat-sifat, jenis, bentuk, dan ukuran barang.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menyebut sifat barang yang tidak mungkin didatangkan penjual. Misalnya si penjual mengatakan “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang paling baik,” dst. tanpa menyebutkan sifat-sifat yang membedakannya dengan yang lainnya. Bila terjadi, maka pada saat itu akad cacat, karena penjual tidak akan sanggup mendatangkan barang yang paling baik sebab tidak ada standar yang jelas dan disepakati tentang baik dan buruk suatu benda. Dan apabila pembeli dalam akad hanya mengatakan: “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang baik atau baru,” apabila kemudian terjadi pertentangan setelah barang itu didatangkan, maka cukup memanggil seseorang untuk menilai. Apabila menurut penilaiannya barang tersebut baik atau baru, maka pembeli harus menerimanya.

2) Syarat Al ‘Aqidân
a. Keduanya secara syariat termasuk orang yang memiliki hak bertransaksi.
Al Qadhi Abi Suja’ menyebutkan dalam kitabnya Matnu Al Ghâyah wa At Taqhrîb, bahwa orang yang terhalang haknya untuk melakukan transaksi (Al-Hajr) ada enam golongan. Beliau berkata:
Orang yang terhalang haknya untuk bertransaksi ada enam golongan. (1) Anak kecil, (2) orang gila, (3) orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, (4) orang bangkrut yang terlilit hutang, (5) orang yang sakit parah tidak boleh menafkahkan lebih dari sepertiga hartanya dan (6) hamba sahaya yang tidak diizinkan berdagang oleh majikannya.
b. Mayoritas Ulama fiqh mensyaratkan pembeli harus beragama Islam bila yang diperjual belikan adalah budak muslim. Sebab bila pembeli adalah orang kafir maka budak itu akan berada di bawah penguasaan orang kafir dan ini bertentangan dengan ayat Al Quran:
}         {
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Kecuali budak tersebut adalah ayah atau anak dari pembeli.

Bila penjual adalah seorang yang buta, maka aqad cacat. Tetapi bila yang buta adalah pembeli, maka menurut Ulama Syafi’iyah transaksi tetap sah dengan syarat si pembeli mengetahui sifat-sifat benda yang dipesan; beratnya, jumlahnya, jenisnya dst. apakah benda itu pernah dilihatnya sebelum buta, atau diketahui karena pernah didengarnya atau dalam transaksi dia ditemani oleh orang lain (yang tidak buta) yang dipercayainya.

3) Syarat Barang dan Tempat Penyerahan
Secara umum, segala barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam jual beli biasa (بيع) diperbolehkan pula untuk diperjual belikan dalam bentuk salam. Berikut beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan barang dan tempat penyerahannya:
a. Harus dalam bentuk hutang dalam jaminan penjual.
b. Harus merupakan benda yang dapat diidentifikasi secara jelas; mempunyai sifat-sifat tertentu; jenis, sifat, ukuran, kadar, klasifikasi kualitas yang diketahui bersama dan membedakannya dengan barang lainnya.
c. Termasuk benda yang mungkin didatangkan ketika tiba masa penyerahannya.
d. Harus diserahkan bukan pada saat aqad.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa transaksi penyerahan barang tidak boleh bersamaan dengan saat aqad salam. Bila telah bersamaan, maka akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, bila barang sudah ada pada saat aqad maka praktek yang terjadi bukan lagi praktek salam tetapi telah berubah menjadi transaksi jual beli biasa, sebab yang membedakan salam dan jual beli hanyalah persoalan waktu penyerahan barang. Kemungkinan kedua, apabila barang belum ada, maka transaksi ini telah terjebak dalam transaksi haram; jual beli barang yang tidak ada (bai’ al ma’dûm).
Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa penyerahan barang boleh pada saat bersamaan dengan aqad bahkan lebih baik. Mereka menafsirkan kalimat ilâ ajalin musamma dalam Al Quran dan ilâ ajalin ma’lûm dalam hadits Nabi bukan sebagai syarat, tetapi bermakna apabila transaksi menyebutkan waktu maka waktu tersebut diketahui dan disepakati bersama. Adapun yang membedakannya dengan jual beli adalah pada lafadz transaksi.
e. Tempat penyerahan adalah yang telah disepakati sebelumnya.
Ketika tempat penyerahan barang berubah dari tempat yang telah disepakati tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu maka salah satu atau kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akad. Tetapi ketika keduanya tidak menyebutkan tempat maka akad tetap sah menurut mayoritas ulama. Apabila tempat penyerahan barang hanya bisa dicapai oleh salah satu pihak atau keduanya dengan mengeluarkan biaya, maka menurut Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah tempat itu harus disebutkan dalam aqad.

4) Syarat Modal/biaya (Ra’sul Mâl)
a. Harus diserahkan/dibayar pada saat aqad transaksi, demi menghindari terjadinya jual beli utang dengan utang (bai' ad-dain bi ad-dain ). Malikiyah membolehkan adanya jangka waktu paling lama tiga hari, sebab 3 hari masih dianggap tempo yang dekat dengan waktu transaksi
b. Serah terima di tempat aqad, sebelum pelaku transaksi berpisah apakah modal tunai atau hutang.
c. Jumlah modal yang diserahkan harus diketahui bersama.
Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan cukup dengan melihat modal/uang tersebut atau dengan isyarat. Hanafiyah mensyaratkan dihitung untuk memastikan jumlahnya. Hanafiyah juga menambahkan modal tersebut mesti diketahui jenisnya, diperiksa keaslian dan dilihat apakah boleh digunakan atau tidak.
Tidak mesti Ra’sul Mâl dalam bentuk uang, tetapi boleh dalam bentuk jasa. Misalnya pembeli berkata; Saya memesan darimu sebuah sepeda motor dalam jangka dua bulan dan sebagai pembayarannya, silahkan kau menempati rumahku selama enam bulan.

E. Transaksi Salam dalam Konteks Kekinian
1. Salam dan Aplikasinya Dalam Perbankan Islam
Sejalan dengan perkembangan zaman, perbankan semakin berkembang dan menawarkan berbagai macam pelayanan dan jasa. Demikian halnya dengan bank Syari’ah/Islam. Dalam prakteknya perbankan syari'ah mempunyai lima prinsip dasar dalam pembiayaan yaitu prinsip titipan atau simpanan, jual beli, sewa, bagi hasil, sewa, dan jasa.
Pelayanan salam sebenarnya bukanlah satu hal yang asing. Sistem ini biasanya diterapkan untuk pembiayaan berjangka pendek, terutama dalam bidang pertanian dan manufaktur . Melalui fasilitas ini, nasabah (misalnya petani) yang ingin melakukan produksi (penanaman) namun tidak memiliki modal yang cukup, bisa mengajukan pembiayaan untuk produksi kepada bank. Dalam hal ini, petani tersebut bertindak sebagai muslam ilaih. Bank akan memberikan pinjaman yang dalam prakteknya seakan-akan bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran dibayar di muka, sedangkan barangnya diterima secara utang. Di sini bank menempati posisi muslim. Dalam hal ini, praktek salam berlangsung.
Oleh karena bank tidak bertujuan untuk memiliki barang (hasil) pertanian yang telah dibeli, maka bank akan menjual kembali barang tersebut kepada petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga belinya. Jadi, praktek bunga tidak terjadi.
Selain itu bank juga bisa melayani dua nasabah dengan menggunakan sistem salam paralel. Salam paralel adalah bentuk mekanisme bank untuk memenuhi pembiayaan persediaan (inventory financing). Terdapat dua tahapan, pada tahap pertama, bank membeli dari supplier secara tunai barang yang dibutuhkan oleh nasabah . Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh, dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Secara sederhana skema salam paralel dapat dilihat dalam lampiran.

2. Salam dan Istishna'
Jual beli istishna' merupakan satu bentuk transaksi yang erat kaitannya dengan salam. Di sini penulis sengaja menyentuh tentang istishna' sebab wujud istishna' itu sendiri masih bersangkutan dengan salam, bahkan sebagian besar ulama fiqh klasik mendefinisikan istishna' sebagai bentuk salam yang termodifikasi..

a. Istishna’: Janji atau Transaksi?
Istishna' berarti meminta kepada pembuat barang untuk dibuatkan barang tertentu dengan ciri-ciri yang tertentu . Transaksi ini merupakan satu akad yang dikembangkan oleh mazhab Hanafiyah, namun mereka sendiri pada dasarnya berselisih pendapat tentang istishna'. Menurut Al-Marwazi dan Muhammad bin Salamah, istishna' tak lain hanyalah berupa janji penjual kepada pembeli. Akan tetapi pendapat yang kuat menurut mazhab mereka bahwa istishna' adalah satu akad yang independen. Adapun ulama non-Hanafiyah (Syafi'i, Maliki dan Hanabilah) berpendapat bahwa istishna' tak lain adalah bentuk dari salam berikut syarat-syaratnya yang berpatokan kepada salam. Perbedaan salam dan istishna' dapat dilihat dalam lampiran.

b. Hukum Istishna'
Dalam menyikapi akad ini, ulama klasik terbagi kepada dua pendapat. Para Ulama Fiqh Hanafiyah mayoritas membolehkan transaksi istishna' yang berasakan akad salam, mereka juga mensyaratkan syarat-syarat salam pada istishna'. Hanafiyah berpendapat bolehnya istishna' dengan dalil adanya kebutuhan manusia terhadapnya. Selain itu mereka juga berpatokan bahwa Rasulullah saw. pernah minta dibuatkan cincin .
Selain mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat salam pada istishna', mazhab Hanafiyah menambahkan tiga syarat khusus yaitu :
(a) Menjelaskan jenis barang, sifat dan kadarnya;
(b) Barangnya memiliki unsur produksi. Barang yang tidak ada unsur produksinya tidak dibolehkan;
(c) Tidak memaksakan adanya penundaan yang tertentu. Mereka beralasan bahwa jika waktunya tertentu maka yang terjadi bukanlah istishna' tapi salam. Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani tidak menjadikan hal yang ketiga ini sebagai syarat istishna'.
Sementara para Ulama Fiqh non-Hanafiyah berpendapat bahwa istishna' adalah bentuk lain dari salam. Mereka tidak membolehkannya karena istishna' merupakan satu bentuk jual beli barang yang tidak ada (bai' ma'dum). Tetapi menurut Prof. Dr. Ali Syadzily, Mazhab Malikiyah membolehkan jual beli yang menyerupai istishna' dikenal dengan jual beli ahli Madinah (bai' ahli Madinah) dengan unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Pembeli harus melakukan akad dengan yang mempunyai profesi tertentu contohnya tukang roti;
(b) Barang yang dibeli belum ada, akan tetapi barangnya bisa dipastikan akan ada setiap hari, karena profesinya menuntutnya untuk selalu menyediakan barang tersebut sehingga pembeli bisa mendapatkan barangnya sesuai jumlah yang disepakati;
(c) Akadnya ada dua cara yaitu dengan membayar barang dengan jumlah yang banyak, dan barangnya akan diambil secara berangsur setiap hari atau membelinya secara eceran setiap hari.

3. Aqad Salam dengan Fasilitas Teknologi
Perkembangan teknologi telah mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang lebih komplit dan serba cepat. Hampir tidak satupun sisi kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh teknologi.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, ketika keberadaan teknologi telah memungkinkan seseorang melakukan aktifitasnya dari jarak jauh. Dalam aqad salam misalnya, para ulama mensyaratkan pembeli dan penjual harus berada pada satu majlis. Tetapi kecanggihan teknologi memungkinkan manusia berkomunikasi, melakukan aqad transaksi dari dua tempat berbeda, misalnya dengan menggunakan fasilitas telepon atau internet.
DR. Ezzat Athiyah; Ketua Jurusan Hadits dan Ilmu Hadits Universitas Al Azhar Kairo mengatakan bahwa transaksi salam dengan menggunakan telepon atau fasilitas lainnya sah digunakan selama memungkinkan pelaku transaksi saling memahami maksud antara satu dan lainnya dan dapat dipastikan ketersambungan antara ijab dan qabul.

BAB III
PENUTUP

Islam datang dengan aturan-aturan baku yang mengatur persoalan hidup manusia. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam kitab suci Al Quran dan dijabarkan melalui lisan, gerak dan pengakuan Rasulullah Saw. Aqidah, syariat dan akhlaq merupakan tiga hal yang menjadi cakupan din ini. Aqidah mengatur persoalan-persoalan yang wajib diyakini dengan hati. Syariat mengatur ibadah dan muamalah sebagai aplikasi dari keyakinan dan akhlaq sebagai pelengkap dari keduanya. Aqidah Islam tetap dan tidak berubah sejak awal risalah Ilahiyah yang disampaikan para nabi.
}    •       {
Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".(Q.S. Al-Nahl: 36)
Adapun syariat terus berubah dan berkembang, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di mana nabi diutus sebagai rahmat Allah bagi hamba Nya. Fiqh yang menjadi bagian terbesar dari syariat juga terus berkembang seirama dengan berkembangnya zaman. Islam sebagai agama Allah hingga akhir zaman dituntut untuk mampu menjadi solusi. Teks-teks Al Quran dan Al-Sunnah sebagai referensi terbesar dalam Islam sangatlah terbatas. Realita ini bukanlah sebagai bentuk kekurangan dalam Islam, sebab Islam telah membangun pondasi hukum dasar dalam Al-Quran dan Al-Sunnah dan membuka kran bagi umatnya, mempersilakan menggunakan perangkat hukum lain seperti ijma’, qiyas, istihsân, mashlahah al mursalah, syar’u man qablanâ, syaddu dzarî’ah dsb., dengan tetap berpedoman pada pondasi-pondasi hukum yang sudah ada.
Dengan perangkat-perangkat inilah kita dapat memutuskan dan menetapkan hukum berbagai persoalan baru yang belum dibahas oleh para ulama terdahulu. Beragam permasalahan kontemporer muncul meramaikan khazanah fiqh Islam. Kita sebagai cendekiawan muslim dituntut pula untuk melanjutkan tugas para ulama terdahulu, menjaga dan meneruskan estafet hukum rabbani sebagi solusi bagi problematika umat manusia.

Kesimpulan
Ulama Fiqh telah sepakat bahwa jual beli salam adalah jual beli yang dibolehkan. Namun, sudah tentu semuanya haruslah mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh syari'at. Ulama salaf menetapkan banyak syarat yang harus dipenuhi. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut masih dapat disederhanakan sehingga lebih praktis, dengan tetap mengacu pada teks Al Quran dan Al-Sunnah. Bagaimanapun, sebagian besar syarat yang disampaikan para ulama adalah hasil dari sebuah ijtihad yang sangat dipengaruhi oleh zaman.
Kebutuhan manusia yang tidak terbatas memunculkan pula istilah bai' istishna' yang pada dasarnya berakar dari salam sendiri, sekalipun mayoritas Ulama Hanafiyah menjadikan istishna' sebagai jual beli yang independen. Penulis lebih condong pada pendapat non-Hanafiyah yang tidak membolehkan transaksi ini. Berbeda dengan salam yang ditopang dengan dalil keabsahan yang kuat baik dari Al-Qur'an maupun Hadits, istishna' hanya didukung dengan dalil adanya kebutuhan manusia terhadap wujud istishna' tersebut.
Malikiyah secara tidak langsung seakan-akan membolehkan istishna', dengan meng-qiyas-kan pada jual beli ahli Madinah, namun praktek jual beli ahli Madinah hanya terbatas terhadap barang-barang yang setiap hari selalu ada sehingga terlepas dari resiko terjadinya penipuan (gharar), berbeda dengan istishna’.
Demikian makalah singkat ini. Kami akui masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Semoga dapat memperkaya pemahaman Islam kita dan dapat menjadi stimulan untuk mambaca lebih banyak referensi-referensi fiqh Islam yang kaya dengan mutiara-mutiara ilahiyah, sehingga kajian ini tidak berakhir begitu saja bersamaan dengan berakhirnya bacaan yang ada di tangan pembaca. Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, bahwa makalah ini hanyalah pengantar diskusi kita.
Terima kasih, puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. Yang telah memudahkan segala urusan, membimbing ke jalan kebaikan. Kepada para ulama yang telah memberikan banyak ilmunya kepada kami lewat buku-buku mereka, semoga Allah memberikan pahala berganda di setiap tetes tinta mereka. Kepada orang tua dan guru yang senantiasa mengawasi, mengajari dan memberikan petunjuk setiap waktu, kepada rekan-rekan ISC sebagai motivator; pemberi semangat, hingga kami dapat menyelesaikan tugas yang diamanatkan. Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, semoga segala bentuk kerja, ibadah dan pengabdian akan beroleh pahala berlipat ganda dan bermanfaat di dunia dan di akhirat kelak. Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn!

Bibliography
Al Qurân Al Karîm
Ahmad, Ali., Al Mursi Abd. Aziz. Qutûfun min Al Uqûd fi Al Fiqh Al Islâmy. Kairo: Al Azhar. 1993. cet. I
Al-Jaziri, Abdul Rahman. Al fiqh alâ al-Madzâhib Al-Arba'ah. Kairo: Dar Al-Fajr Al-Turats. 2000M. jilid II
Al-Maliki, Muhammad bin Ahmad bin 'Arafah Al-Dasuki. Hasyitu ad-Dasuki. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. 2003M. jilid IV
Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari. Al-Jami'u li Ahkâm al-Qurân. Kairo: Maktabah al-Tawfikiah. jilid III
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Al Jami’ li Ahkâm Al Qurân. Kairo: Dar Al Hadits. 2002. jilid II. juz III
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia. 2001. cet. 1
As Syafi’I, Al Imam. Mausû’ah Al Um. Kairo: Al Maktabah Al Tawfikia. 2003. juz 3
As Syafi’I, Al Qadhi Abi Suja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al Ashfahany. Matnu Al Ghâyah wa At Taqrîb. Kairo: Maktabah Al Ilm wa Al Iman. tanpa tahun
As-Syarbini, Muhammad al- Khatib. Mughni al- Muhtâj ilâ Ma'rifati Alfâdz al-Minhâj. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr. 2005M. jilid II.
Az Zuhaily, DR. Wahbah. Al Fiqh Al Islâmiy wa Adillatuh. Damsyiq: Dar Al Fikri. 2004. cet. IV. jilid V
Ismail, Muhammad Bakr. Al Fiqh Al Wâdhih. Kairo: Dar Al Manar. 1997. cet. II. jilid III
Lajnah min Asatidzah Qism Al Fiqh. Al Mu’âmalât. Fakultas Syariah wal Qanun Al Azhar. 2006
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Fiqh Mu’âmalât. Fakultas Syariah wal Qanun Al Azhar. 2004
Sabiq, Sayyid. Fiqh As Sunnah. Takhrij Syekh Al Al Bany. Cairo: Dar Al Fath lil I’lam Al Araby. 1999. cet II. jilid 4
Syakirin, Ahmad. Produk-produk Investasi Bank Islam. Kairo: ICMI. 2002M





Lampiran :
SKEMA TRANSAKSI SALAM PARALEL
























II. PERBEDAAN ANTARA TRANSAKSI SALAM DAN ISTISHNA’

SUBJEK SALAM ISTISHNA' ATURAN & KETERANGAN
POKOK KONTRAK Muslam fîh Mashnu' Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
HARGA Dibayar saat kontrak Bisa saat kontrak, bisa diangsur, bisa kemudian hari Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’
SIFAT KONTRAK Mengikat secara asli (thabi'i) Mengikat secara ikutan (taba'i) Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna' mengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab
KONTRAK PARALEL Salam paralel Istishna' paralel Baik salam paralel maupun istishna’ sah asalkan kedua kontrak dilakukan secara hukum adalah terpisah

(Sumber: Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia, 2001), cet. 1, hal. 110, 116)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar